PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra adalah komunikasi seni yang hidup di
masyarakat dan bermediumkan bahasa. Tanpa bahasa, sastra tidak dapat berkembang
secara maksimal. Bahasa dalam karya sastra harus mampu menyentuh nuansa-nuansa
makna dan mempunyai daya imajinatif. Pengarang dengan daya kreasi dan
imajinasinya berusaha menyampaikan masalah-masalah kehidupan manusia yang ada
di alam sekitarnya.
Melalui ketajaman perasaanya pengarang mengungkapkan
nilai-nilai yang terdapat di balik peristiwa untuk dituangkan ke dalam karya
sastra. Selain itu, pengarang melalui karya-karyanya selalu mengajak pembaca
tidak hanya menangkap yang tersurat, tetapi juga segala sesuatu yang tersirat
dalam karya sastra. Dengan demikian karya sastra merupakan perpaduan harmonis
antara daya pikir dan perasaan pengarang untuk ditujukan kepada pembaca.
Karya sastra banyak menampilkan problem-problem
kehidupan manusia yang ditulis melalui cara pandang pengarang terhadap masalah
yang akan diangkatnya dalam bentuk cerita fiksi. Orang dapat mengamati tingkah
laku tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra dengan memanfaatkan pertolongan
pengetahuan psikologi. Sastra dan psikologi adalah dua ilmu yang saling
berkaitan. Membicarakan hubungan keduanya sangat menarik. Masing-masing dari
dua disiplin ilmu tersebut saling berinteraksi. Wellek dan Warren (1995: 106) menjelaskan tentang ilmu
jiwa dalam karya sastra sebagai berikut. Tokoh-tokoh dalam karya sastra ,
situasi serta plot yang terbentuk seringkali sesuai dengan keberadaan
psikologi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas maka terdapat tiga rumusan masalah dalam makalah ini.
1. Apa hakikat psikologi sastra?
2. Bagaimana teori kepribadian menurut Jung?
3. Bagaimana contoh pendekatan psikologi dalam kajian
karya sastra?
PEMBAHASAN
A. Teori Psikologi Sastra
Psychologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yaitu ilmu, mengarahkan
perhatiannya pada manusia sebagai objek studi, terutama pada sisi perilaku (behaviour atau action) dan jiwa (psyche).
Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat memahami formulasi-formulasi
definisi seperti kategori yang dipelajari berikut ini.
1.
Ilmu atau kajian ilmiah tentang
perilaku manusia
2.
Ilmu atau kajian ilmiah tentang
jiwa manusia.
Sebagai disiplin ilmu yang
memfokuskan studi pada perilaku manusia, psychology
dikategorikan sebagai behavioural science
atau ilmu perilaku (Siswantoro, 2004: 29).
Menuru Kartini Kartono (1990: 13), psikologi adalah
usaha untuk memahami tingkah laku manusia. Studi tingkah laku ini berusaha
untuk menemukan arti sebenarnya wujud kehidupan manusia dalam konteksnya.
Sementara itu, Wellek dan Warren
(1995:41) mengatakan psikologi dalam karya sastra bukanlah hal baru karena
tokoh-tokoh dalam karya sastar mempunyai jiwa. Dengan tokoh-tokoh yang berjiwa,
maka cerita akan menjadi menarik dan terasa hidup. Untuk menemukan
aktivitas-aktivitas kejiwaan para tokoh-tokohnya maka harus dikaji pula segi
penokohan secara mendalam.
Lebih lanjut
Wellek dan Werren (1995: 90) mengatakan psikologi sastra mempunyai empat
kemungkinan pengertian, yaitu: (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau
sebagai pribadi; (2) studi proses kreatif; (3) studi tipe dan hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra; dan (4) mempelajari dampak sastra
pada pembaca (psikologi pembaca).
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang
mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi sastra meliputi bidang
penelitian yang luas. Hanya ada sebagian yang memiliki relevansi dengan
penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang
berkenan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretatif dan reaksi
evaluatif pembaca terhadap teks sastra
yang diselidiki.
Psikologi
tertarik pada functioning human mind ‘pikiran manusia’ (Sumardjo,Jacob dan Saini,
1988: 73). Hal ini mempunyai hubungan yang kuat dengan metode-metode tentang
psikologi sastra. Psikologi sastra sering menerapkan metode-metode atau
upaya-upaya penelitian baru untuk menguji hipotesis yang diformulasikan dalam
suatu fase penelitian yang lebih awal.
B. Teori Kepribadian Jung
Carl Gustav Jung adalah seorang psikiater di Zurich . Pada tahun 1913
melepaskan diri dari sekolah psikoanalisis Freud, lalu mendirikan sekolah baru,
yaitu Psikologi Analitis. Bukunya antara lain “Psychologis Typen”.
Segala tindakan yang dilakukan manusia, baik itu sadar
atau tidak sadar berpijak pada psike/jiwa. Psike/jiwa menurut Jung adalah
totalitas dari semua peristiwa psikis, yang sadar maupun yang tidak sadar.
Keduanya memiliki fungsi adaptasi, yaitu kesadaran itu berfungsi mengadakan
penyesuaian diri terhadap dunia luar, sedang ketidaksadaran mengadakan adaptasi
terhadap kehidupan batiniah sendiri. Ketidaksadaran itu menjadi tenaga primer
bagi manusia.
Menurut Jung, ketidaksadaran itu merupakan induk kreatif
yang kekal dari kesadaran. Karena itu, ketidaksadaran itu bukannya lawan dari
kesadaran, akan tetapu merupakan faktor pelengkap bagi kesadaran agar
kedua-duanya bisa berfungsi dengan sehat.
Jung membedakan empat fungsi fundamental dari kesadaran,
yaitu dua fungsi yang rasional, ialah rasio/pikiran dan perasaan, serta dua
fungsi irrasional, yaitu penginderaan dan intuisi.
Fungsi-fungsi rasional bekerja dengan
ketentuan-ketentuan nilai, yaitu nilai benar-palsu. Sedangkan perasaan bekerja
atas asas senang tidak senang. Fungsi-fungsi rasional tidak bekerja dengan
penelitian dan pertimbangan, akan tetapi hanya berlandaskan pengamatan, yaitu
penginderaan secara sadar melalui indera-indera. Sedang intuisi berfungsi
secara inisiatif dan tidak sadar.
Keempat fungsi tersebut ada berlangsung pada setiap
manusia, namun pada proses adaptasi terhadap lingkungan hanya ada satu fungsi
yang dominan atau superior sifatnya. Dan fungsi “superior” itu menentukan tipe
individu, yaitu tipe intuitif.
Di antara keempat fungsi pokok itu berlangsung
pertimbangan yang kompensatoris jika fungsi superior berkembang terlalu kuat,
terjadilah ketidakseimbangan yang makin membesar. Fungsi yang inferior berusaha
melakukan kompensasi, lalu timbulah ketegangan-ketegangan batin yang hebat, yang
bisa menimbulkan macam-macam tingkah laku yang tidak terkendali. Maka tujuan
dari psikoterapi ialah menyadarkan keempat fungsi dan membuatnya jadi seimbang
sehingga muncul seorang pribadi yang “bulat”.
Lebih lanjut Jung mengatakan pertumbuhan pribadi merupakan
suatu dinamika dan proses evolusi yang terjadi sepanjang hidup. Individu secara
terus menerus berkembang dan belajar keterampilan baru serta bergerak menuju
penemuan diri. Proses menuju aktualisasi diri ini seringkali merupakan proses
yang sulit dan menyakitkan. Hal itu secara terus menerus merupakan usaha
individu untuk memahami pengalaman dan mengembangkan sikap-sikap yang sehat.
Seseorang akan sering merasakan krisis. Resolusi pada krisis ini menolong
seseorang untuk bergerak menuju persepsi yang tepat dan penuh pemahaman tentang
dirinya. Di bawah kondisi ini seseorang mengalami individualisasi.
Tujuan dari penemuan diri adalah keutuhan psikis dan
kematangan kepribadian. Keutuhan psikis ini adalah hasil dari bermacam-macam
unsur psikis melalui proses penemuan diri dan proses transformasi batin. Krisis
psikis ini sebenarnya merupakan tanda bahwa manusia sedang mencari arti atau
makna keseluruhan religius yang dialaminya dalam kehidupan. Individualisasi
adalah proses realisasi diri yang utuh di mana self atau diri dapat berintegrasi secara harmonis di dalam ego. Jung menekankan bahwa fungsi
religius sangat penting untuk perkembangan psikis yang matang.
Perkembangan religius merupakan satu unsur hakiki yang
integral dari proses individualisasi, dari proses menjadi diri yang utuh.
Individu dalam mencapai proses individualisasi melalui beberapa fase. Fase
pertama, membuat sadar fungsi-fungsi pokok serta sikap jiwa yang ada dalam
ketidaksadaran. Dengan cara ini tegangan dalam batin refleks berkurang dan kemampuan
untuk mengadakan orientasi serta penyesuaian diri meningkat. Fase kedua,
membuat sadar imagi-imago. Dengan menyadari ini orang akan mampu melihat
kelemahan-kelemahannya sendiri yang diproyeksikan. Fase ketiga, menginsyafi
bahwa manusia hidup dalam tegangan pasangan-pasangan yang berlawanan, bauk
rohaniah maupun ajsmaniah, dan bahwa manusia harus tabah menghadapi hal ini
serta dapat mengatasinya. Fase keempat, adanaya hubungan yang selaras antara
kesadaran dan ketidaksadaran.
B. Contoh Pendekatan Psikologi Sastra dalam Kajian
Karya Sastra
Psikologi dalam karya sastra merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Psikologi sastra adalah suatu pendekatan yang bertolak
dari asumsi bahwa karya sastra banyak membahas tentang peristiwa kehidupan
manusia yang memperlihatkan perilaku beragam. Oleh karena itu, dengan
pendekatan psikologi sastra diharapkan dapat mengupas perilaku dan pengaruh
peristiwa-peristiwa, contohnya usaha tokoh
“aku” untuk menemukan jati diri dalam novel Mencoba Tidak Menyerah (MTM) karya
Yudhistira.
1. Pengaruh Revolusi Terhadap Kondisi
dan Perkembangan Jiwa Tokoh
Novel MTM, menceritakan sebuah
keluarga yang menjadi korban suasana akibat meletusnya peristiwa traumatik
Gerakan 30 Septembar Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Novel MTM
mengambil tokoh “aku”. Tokoh “aku” adalah seorang anak dan saudara-saudara
kandungnya dari satu keluarga kurang mampu yang gigih dan tidak mudah putus asa
mencoba melepaskan diri dari himpitan nasib dan “kekejaman keadaan”. Selain itu
tokoh “aku” juga terus-menerus diterpa oleh kenyataan-kenyataan pahit yang
tidak bisa dihindari. Keluarga tokoh “aku” harus menerima akibat dari peristiwa
pemberontakan PKI. Banyak orang menganggap bapaknya sebagai orang PKI. Anggapan
itu membuat keluarga “aku” dikucilkan oleh masyarakat. Sebagai anak yang baru
duduk di sekolah dasar tokoh aku begitu terguncang jiwanya. Kawan-kawan sebaya
banyak yang menjauhi tokoh “aku”. Karena mereka menganggapnya sebagai anak PKI.
Tokoh “aku” menjadi bingung, asing, dan merasa sendirian. Demikianlah kenyataan
yang harus dihadapi tokoh “aku” secara terus-menerus sehingga membuat dirinya
makin rendah diri dan mengalami tekanan batin secara psikologis.
Berdasarkan deskripsi cerita dalam
novel MTM yang menampilkan konflik kejiwaan tokoh-tokohnya, khususnya tokoh “aku”.
Tokoh “aku” digambarkan sebagai anak berumur sebelas tahun dan duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Tokoh “aku”
anak keenam dari enam bersaudara. Tokoh “aku” dan keluarganya hidup di sebuah kota kabupaten yang terdiri dari 20 desa. Kehidupan tokoh “aku”
dan keluarganya dijalani dengan damai dan tentram. Namun peristiwa revolusi G
30 S PKI telah membawa perubahan dalam kehiodupan tokoh “aku”, yaitu tuduhan
terhadap bapaknya sebagai orang PKI. Hal ini telah mempengaruhi perkembangan
jiwanya.
Jiwa tokoh “aku” tergoncang
mendengar dia disebut sebagai anak PKI. Pikiran tokoh “aku” dipenuhi ketakutan
dan bayangan mengerikan tentang keluarganya. Tokoh “aku” adalah tokoh yang
mempunyai kepribadian extrovertion,
yaitu mempunyai kecenderungan untuk mengarahkan kepribadiannya lebih banyak ke
luar daripada ke dalam dirinya sendiri. Sebagai orang yang extrovert tokoh “aku” ingin membicarakan tentang masalah-masalah
yang dihadapinya pada orang lain. Dengan cara tersebut ia berharap dapat
menyeimbangkan gejolak batin dalam dirinya. Tindakan tokoh “aku” untuk mengurangi
tekanan jiwanya dapat kita lihat dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 26)
“Tidak, Ibu ! itu tidak boleh terjadi!” “aku” berteriak
atau mungkin juga hanya berbisik lirih. Ibu mengusap-usap kepala “aku”, dan
mengulangi pertanyaannya. Tapi “aku”
merasa ragu-ragu untuk mengatakan apa yang telah “aku” dengar itu secara
jujur. “aku” takut. “aku” takut kalau ibu mendengarnya nanti mungkin bisa jatuh
sakit. Ibu mengidap penyakit jantung, seperti yang sering diceritakan atau
dikeluhkannya kalau kami selalu ribut dan berteriak-teriak. Oleh karena itu
“aku” tidak segera menjawab pertanyaannya. “aku” hanya memandangnya saja dan
“aku” tak tahan, sehingga “aku” menangis. Tapi tanpa kusadari, dalam
tangisku itu “aku” bertanya tersendat
“aku” bukan komunis kan ,
Bu? “aku” bukan anak PKI kan ?
Kecemasan terus menghinggapi tokoh
“aku”, apalagi pada waktu malam hari karena “aku” tahu bahwa gerakan pembasmian
orang-orang PKI biasanya dilakukan malam hari. Tokoh “aku” merasa menunggu
sesuatu, sesuatu yang membuatnya selalu merasa dalam ketegangan. Ketegangan itu
pada akhirnya mencapai puncaknya ketika suatu malam rombongan orang-orang
memporak-porandakan rumah dan seluruh isinya. Bagi tokoh “aku” hal ini
merupakan sebuah permulaan dari masa-masa yang gelap. Tokoh “aku” dan
keluarganya harus pindah ke rumah yang dipinjamkan oleh kawan bapaknya dengan
membawa kesedihan.
Di sekolah, tokoh “Aku” menjadi
dijauhi teman-temannya karena mereka menganggap tokoh “aku” sebagai anak PKI.
Sikap mereka itu membuat tokoh “aku” menjadi sedih. Keadaan yang tidak
menyenangkan ini menyebabkan fungsi jiwa tokoh “aku” terganggu. Tokoh “aku”
yang bertipe perasa menjadi asing dan bingung terhadap lingkungannya. Dalam
kesendiriannya, keseimbangan tokoh “aku” terganggu oleh fungsi jiwanya yang
tidak harmonis. Tokoh “aku” merasa frustasi menghadapi lingkungan yang makin
tidak bersahabat dengan dirinya. Untuk mengatasi rasa frustasi itu, tokoh “aku”
banyak menggunakan waktunya untuk membaca buku cerita yang digemari, yaitu buku
karangan Karll Mark. Tokoh “aku” menyenangi tokoh Winnetou, kepala suku Apache,
yang memiliki kecerdasan dan kehalusan jiwa. Bahkan tokoh “aku” ingin menjadi
seperti dia dan merasa sebagai Winnetou. (Yudhistira, 1996: 27).
Sikap dan tindakan tokoh “aku”
merupakan usaha untuk mengatasi frustasi dari dirinya dengan cara mengidentifikasi,
yaitu dengan meniru dan menyamakan dirinya dengan tokoh Winnetou. Tokoh “aku”
berharap dapat membuat kondisinya menjadi lebih baik, namn ternyata hal itu
tidak dapat dilakukannya. Hal itu tampak seperti dalam kutipan berikut
(Yudhistira, 1996: 58)
“Aku” ingin sekali memiliki kemampuan seperti itu. Dan “aku” iri
betul pada Winnetou, karena ternyata “aku” tak pernah bisa melakukannya. Hatiku
sangat mudah terpengaruh oleh kejadian-kejadian kecil sekalipun yang menimpa
diriku. Dan “aku” tak pernah bisa menyembunyikan perasaanku. Jika ada sesuatu
kesedihan, wajahku akan kelihatan murung atau menangis. Kalau “aku” tersinggung,
“aku” lekas naik darah dan berkelahi. Dan kalau “aku” gembira, “aku” bisa
tertawa-tawa sampai perutku sakit.”
Hari demi hari dilalui “aku” dengan
kesedihan. Kesedihan yang besar menimpanya ketika bapaknya ditahan. Dengan
ditahannya bapak, maka tokoh “aku” harus ikut bekerja untuk melanjutkan hidup
yang semakin berat. Setelah berganti-ganti pekerjaan dan hasilnya tidak
memuaskan, maka tokoh “aku” membuka kembali bengkel warisan bapaknya. Pekerjaan
di bengkel dijalani tokoh “aku” dengan kesabaran dan keuletan. Kesadaran untuk
membantu kehidupan keluarganya telah menuntun tokoh “aku” untuk menekuni
pekerjaan itu. Semanagt tokoh “aku” untuk bekerja semakin bertambah mendengar
bapaknya masih hidup. Hal itu tercermin dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996:
118)
“Bahkan aku merasa bahwa bapak sudah betul-betul diantara kami
semua. Karenanya kegembiraan yang ada dalam diriku besar sekali. Dan aku
bekerja di bengkel dengan sepenuh hati, karena ingin menunjukkan kepada Bapak,
betapa sekarang ini aku tidak membenci bengkel, pekerjaannya. Aku ingin
menunjukkan kepada bapak bahwa dengan bekerja di bengkel, aku mendapatkan
uang.”
Sikap tokoh “aku” yang ingin
menunjukkan semangat bekerjanya kepada
bapak secara psikologis merupakan pengaruh dari rasa kehilangan bapaknya yang
telah membuatnya trauma. Apa yang dialami tokoh “aku” merupakan
pengalaman-pengalaman yang tarumatis, mengejutkan, dan meninggalkan kesan
mendalam pada jiwa orang bersangkutan sehingga dapat menyebabkan terbentuknya sikap tertentu.
Kondisi jiwa tokoh “aku”
berangsur-angsur menunjukkan perkembangan yang baik. Apa lagi setelah bapaknya
pulan dari tahanan. Tokoh “aku” merasa ada semangat hidup. Semangat hidup dan
sikap optimis ada karena tokoh “aku” semakin mantap. Hal ini tercermin dalam
kutipan berikut (Yudhistira,1996: 130).
“Aku sekarang sudah bisa memperbaiki kerusakan sepeda yang macam
apapun, Pak!” Begitu kataku gembira, sambil aku membongkar sebuah sepeda yang
hendak diservis. Bapak tertawa senang “Itu bagus! Tapi belajarlah terus sampai
kamu menguasainya betul, sehingga kalau kamu kelak tak punya usaha lain, maka
usaha membuka bengkel seperti ini, sudah akan bisa menolong hidupmu!” Kata
Bapak.
Demikian kondisi perkembangan jiwa
tokoh “aku” sebagai tokoh utama, karena intensitas keberadaanya sangat
menentukan perkembangan dalam alur cerita secara keseluruhan dan sekaligus
sebagai tokoh protagonist karena secara keseluruhannya perkembangan jiwanya ke
arah yang lebih baik. Hal itu terlihat dengan perubahan sikapnya menjadi lebih
bertanggung jawab. Oleh karena itu, sikap yang ditunjukkan oleh tokoh “aku”
tersebut merupakan perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteladani
pembaca.
2. Usaha Tokoh “Aku” untuk Menemukan
Jati Diri
Kondisi kejiwaan tokoh “aku” yang
terguncang, disebabkan oleh masalah yang menimpa keluarganya, yaitu adanya
fitnahan terhadap bapaknya sebagai orang PKI yang dilanjutkan dengan
pengrusakan rumahnya. Dan yang lebih memukul jiwa “aku” adalah perpisahan
dengan bapaknya yang harus menjalani penahanan karena fitnahan itu.
Permasalahan-permasalahan itu menjadi beban psikologis yang terlalu berat bagi
“aku”. Karena selain merasa sedih dan kehilangan atas kepergian bapaknya, lebih
dari itu “aku” merasa sakit hati terhadap perlakuan lingkungan yang tidak
bersahabat terhadapnya. “Aku” menjadi asing terhadap lingkungan sekitarnya dan
yang lebuh buruk lagi “aku” merasa asing terhadap dirinya sendiri.
Kehilangan orang yang disayangi dan
diasingkan lingkungan seringkali mendorong seseorang mengambil sikap dan
tindakan yang merugikan diri sendiri. Demikian pula “aku”, dalam
ketidaksadarannya “aku” melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Hal
ini tercermin dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 82)
“Aku sakit hati betul dibuatnya. Dan itulah rasa sakit yang tak pernah
tersembuhkan lagi. Rasa sakit yang telah menggerogori jiwaku yang rawan.
Semangatku yang padam. Gairah sekolah pun mulai menurun. Aku merasa sangat
letih. Pikiran tak pernah jernih. Hatiku selalu gelisah, sehingga
pelajaran-pelajaran sekolah sulit melekat pada otak. Dan aku menjadi tak betah
duduk di kelas, atau bangun tiap pagi dan pergi sekolah, bertemu dengan
kawan-kawan yang makin asing saja rasanya. Aku merasa bosan dan tak tahan
lagi.”
Kepribadian “aku” yang cenderung
menjadi rapuh dan tidak memiliki motivasi hidup, tidak lain merupakan dampak
dari rasa keterasingannya yang membuat “aku” merasa dimusuhi kawan-kawannya.
Kondisi psikis ini berakibat “aku” makin bosan menjalani kehidupan di dalam
linkungannya. Namun akhirnya “aku” sadar akan tanggung jawabnya dengan berniat
untuk tidak membuang kesempatan sekolahnya. Seperti tampak dalam kutipan
berikut (Yudhistira, 1996: 83)
“Berpikir begitu, akhirnya kebencian dan kebosanan kepada sekolah
itu aku buang jauh-jauh. Aku sadar. Sekarang sudah kelas enam. Tidak boleh
sembarangan. Aku harus lebih rajin belajar supaya bisa lulus dan ibu senang.”
Adanya kesadaran pada diri ”aku”
merupakan indikasi timbulnya perubahan sikap dan tindakan ke arah yang lebih
baik. Dalam hal ini ditunjukkan dengan kesadaran untuk mernjalani hidup yang
lebih baik dan bertanggung jawab. Jika dihibungkan dengan pendapat Jung, maka
kesadaran yang mulai muncul pada dari “aku” merupakan proses perkembangan
kepribadian untuk mencapai pribadi yang sehat dan mantap sebagai hasil integrasi
antar unsur-unsurnya yang tidak lain menuju kejatidirian. Sesuai penjelasan
Jung pula, maka kesadaran “aku” tersebut merupakan fase pertama dari perjuangan
batin dalam menemukan jati diri. Pada fase pertama ini fungsi pokok dan sikap
jiwa “aku” yang ada dalam ketidaksadaran mengalami kesadaran. Dengan
kesadarannya maka “aku” terdorong berusaha menyesuaikan diri dengan apa yang
telah disadarinya.
Usaha menyesuaikan diri untuk bersikap dan
bertindak sesuai dengan kesadaran merupakan perkembangan yang baik dan proses
perjuangan batin dalam penemuan jati diri. Penyesuaian ini dilakukan “aku”
dengan berusaha mnginstropeksi dirinya seperti terlihat dalam kutipan berikut
(Yudhistira, 1996: 58)
“Kupikir, betapa jeleknya sikapku itu. Tidak seperti Winnetou yang
begitu hebat segalanya. Tetapi mau apa lagi. Aku tidak bisa mengubah
sifat-sifatku yang jelek itu dengan begitu saja. Aku merasa bahwa memang
begitulah adanya aku ini semenjak dilahirkan. Jadi aku pasti tidak bersalah
dalam hal ini. Entah siapa yang salah, aku tidak tahu”.
Sesuai dengan penjelasan Jung, maka
kesadaran “aku” melakukan instropeksi diri dengan melihat dan menilai
kekurangan- kekurangan pada dirinya, merupajkan fase kedua dari perjuangan
batinnya dalam proses penemuan jati diri. Kesadaran “aku” untuk melakukan
intropeksi diri ini secara psikologis telah mempengaruhi batin “aku” untuk
menginsyafi bahwa kehidupan keluarganya semakin sulit. Oleh karena itu, “aku”
sadar harus ikut bekerja untuk membantu ibunya mencukupu kebutuhan keluarganya.
Sikap dan tindakan “aku” yang sadar akan kewajibannya tampak dalam kutipan
berikut (Yudhistira, 1996: 87)
“Meskipin begitu, aku dan kakak-kakak lantas bersepakat bahwa
bagaimanapun ibu harus kami bantu. Kami anak-anaknya tidak boleh tinggal daim,
sebab kami berfikir uang hasil penjualan kue itu pasti belum mencukupi semua
kebutuhan kami. Jadi kami pun harus kerja, mencari uang. Dan yang bekerja
pertama kali ternyata aku. Itu pun atas usaha ibu. Ibu sambil berjualan selalu
menanyakan kepada siapa saja, kepada pemilik took ataupun kepada orang-orang
kaya, kalau-kalau ada pekerjaan yang bisa dilakukan untuk anak-anaknya”.
Sesuai dengan penjelasan Jung, maka
sikap “aku” merupakan fase ketiga dari perjaungan abtinnya dalam proses
penemuan jati diri. Hal ini menunjukkan “aku” semakin menyadari dan memiliki
pandangan objektif bahwa kahidupan yang dialaminya bersama keluarga memerlukan
dipenuhinya kebutuhan jasmani. Dan “aku” pun bertekad untuk ikut bekerja.
Padahal selama ini “aku” tahunya minta uang dari orang tuanya dan bermain-main.
Semangat bekerja ini didorong keinginan “aku” membantu ibunya dalam memenuhi
kebutuhan hidup keluarga.
Tekad dan semangat “aku” untuk
menjalani kehidupan yang lebih baik dan bertanggung jawab menunjukkan bahwa
kesadaran “aku” makin mantap dalam menghadapi cobaan dan meninggalkan
kebiasaannya selama ini yang kurang bermanfaat. Sikap dan tindakan “aku” yang
lebih tegar dan arif dalam menjalani kehidupan terlihat dalam kutipan berikut
(Yudhistira, 1996: 114).
“Aku harus tulus hati. Aku mesti jadi orang dan ramah-tamah terhadap
siapa pun. Harus menghadapi segala sesuatu dengan lapang dada dan tak usah
menggerundel”.
Demikian pula untuk menemukan jati
dirinya “aku” berusaha meyakinkan pada dirinya bahwa dia bisa hidup dan
berhubungan dengan lingkungannya penuh percaya diri. Dan kenyataan itu terjadi
dalam kehidupan yang dijalaninya, seperti tampak dalam kutipan berikut
(Yudhistira, 1996: 133).
“Pergaulanku dengan kawan-kawan pun, terasa menjadi akrab dan
menyenangkan kembali. Juga di sekolah, aku tidak lagi merasa risi dan bosan.
Ya, kupikir itu karena sekarang aini aku sudah memiliki kebanggaan. Aku merasa
bangga bahwa di antara sekian banyak orang-orang yang dihancurkan, aku sanggup
bertahan dan tetap bisa maju. Dan karena itu aku punya seseorang Bapak yang
luar biasa. Ulet dan sabar.
SIMPULAN
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang
mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi
sastra meliputi bidang penelitian yang luas, hanya ada sebagian yang memiliki
relevansi dengan penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian
psikologis yang berkenan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretatif dan
reaksi evaluatif pembaca terhadap teks
sastra yang diselidiki.
Perubahan dan pencarian jati diri yang dilakukan oleh
tokoh “aku” dapat disimpulkan dalam beberapa hasil perenungan yang
diperolehnya, yaitu (1) “Aku” telah menyadari dan melakukan intropeksi diri
atas sikap maupun tindakan-tindakannya selama ini, yang telah merugikan dirinya
sendiri dan kurang bermanfaat dalam hidupnya; (2) “Aku” telah berusaha
menemukan kembali jati dirinya dengan bersikap tegar, bersemangat, dan berani
menghadapi cobaan yang menimpa keluarganya khususnya pada dirinya; dan (3)
“Aku” pun telah menunjukkan kepercayaan dan kebanggaan dirinya menjalani hidup
di lingkungannya
Kesungguhan dan keberanian “Aku” dalam pencarian jati
diri membuktikan bahwa setiap usaha akan memberikan hasil nyata seperti yang
diharapkannya. Keteguhan hati dan kamauan tokoh “aku” untuk terus hidup dapat diteladani
dengan sikap yang optimis menatap masa depan untuk menghadapi segala rintangan
hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
Carl Gustav Jung.
1989. Psikologi Analitis. Jakarta : PT Gramedia
Kartini Kartono.
1990. Psikologi Umum. Bandung : Mandar Maju
Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra.-Analisis
Psikologis. Surakarta :
UNS Press
Sumardjo, Jacob
dan Saini K.M.1988. Apresiasi
Kesusastraan. Jakarta :
PT Gramedia
Wellek, Rene dan
Austin Warren. 1995. Apresiasi
Kesusastraan. Jakarta :
PT Gramedia
Yudhistira A. N. M. Massardi. 1996. Mencoba Tidak Menyerah. Yogyakarta :
Yayasan Bentang Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar