Laman

Jumat, 10 April 2015

Contoh Pendekatan Psikologi Sastra dalam Kajian Karya Sastra

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Karya sastra adalah komunikasi seni yang hidup di masyarakat dan bermediumkan bahasa. Tanpa bahasa, sastra tidak dapat berkembang secara maksimal. Bahasa dalam karya sastra harus mampu menyentuh nuansa-nuansa makna dan mempunyai daya imajinatif. Pengarang dengan daya kreasi dan imajinasinya berusaha menyampaikan masalah-masalah kehidupan manusia yang ada di alam sekitarnya.
Melalui ketajaman perasaanya pengarang mengungkapkan nilai-nilai yang terdapat di balik peristiwa untuk dituangkan ke dalam karya sastra. Selain itu, pengarang melalui karya-karyanya selalu mengajak pembaca tidak hanya menangkap yang tersurat, tetapi juga segala sesuatu yang tersirat dalam karya sastra. Dengan demikian karya sastra merupakan perpaduan harmonis antara daya pikir dan perasaan pengarang untuk ditujukan kepada pembaca.
Karya sastra banyak menampilkan problem-problem kehidupan manusia yang ditulis melalui cara pandang pengarang terhadap masalah yang akan diangkatnya dalam bentuk cerita fiksi. Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan psikologi. Sastra dan psikologi adalah dua ilmu yang saling berkaitan. Membicarakan hubungan keduanya sangat menarik. Masing-masing dari dua disiplin ilmu tersebut saling berinteraksi. Wellek dan Warren (1995: 106) menjelaskan tentang ilmu jiwa dalam karya sastra sebagai berikut. Tokoh-tokoh dalam karya sastra , situasi serta plot yang terbentuk seringkali sesuai dengan keberadaan psikologi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka terdapat tiga rumusan masalah dalam makalah ini.
    1.  Apa hakikat psikologi sastra?
    2.  Bagaimana teori kepribadian menurut Jung?
    3.  Bagaimana contoh pendekatan psikologi dalam kajian karya sastra?
PEMBAHASAN

A. Teori Psikologi Sastra
          Psychologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yaitu ilmu, mengarahkan perhatiannya pada manusia sebagai objek studi, terutama pada sisi perilaku (behaviour atau action) dan jiwa (psyche). Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat memahami formulasi-formulasi definisi seperti kategori yang dipelajari berikut ini.
1.      Ilmu atau kajian ilmiah tentang perilaku manusia
2.      Ilmu atau kajian ilmiah tentang jiwa manusia.
 Sebagai disiplin ilmu yang memfokuskan studi pada perilaku manusia, psychology dikategorikan sebagai behavioural science atau ilmu perilaku (Siswantoro, 2004: 29).
Menuru Kartini Kartono (1990: 13), psikologi adalah usaha untuk memahami tingkah laku manusia. Studi tingkah laku ini berusaha untuk menemukan arti sebenarnya wujud kehidupan manusia dalam konteksnya. Sementara itu, Wellek dan Warren (1995:41) mengatakan psikologi dalam karya sastra bukanlah hal baru karena tokoh-tokoh dalam karya sastar mempunyai jiwa. Dengan tokoh-tokoh yang berjiwa, maka cerita akan menjadi menarik dan terasa hidup. Untuk menemukan aktivitas-aktivitas kejiwaan para tokoh-tokohnya maka harus dikaji pula segi penokohan secara mendalam.
 Lebih lanjut Wellek dan Werren (1995: 90) mengatakan psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu: (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi; (2) studi proses kreatif; (3) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra; dan (4) mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi sastra meliputi bidang penelitian yang luas. Hanya ada sebagian yang memiliki relevansi dengan penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretatif dan reaksi evaluatif  pembaca terhadap teks sastra yang diselidiki.
 Psikologi tertarik  pada functioning human mind ‘pikiran manusia’ (Sumardjo,Jacob dan Saini, 1988: 73). Hal ini mempunyai hubungan yang kuat dengan metode-metode tentang psikologi sastra. Psikologi sastra sering menerapkan metode-metode atau upaya-upaya penelitian baru untuk menguji hipotesis yang diformulasikan dalam suatu fase penelitian yang lebih awal.

B.  Teori Kepribadian Jung
Carl Gustav Jung adalah seorang psikiater di Zurich. Pada tahun 1913 melepaskan diri dari sekolah psikoanalisis Freud, lalu mendirikan sekolah baru, yaitu Psikologi Analitis. Bukunya antara lain “Psychologis Typen”.
Segala tindakan yang dilakukan manusia, baik itu sadar atau tidak sadar berpijak pada psike/jiwa. Psike/jiwa menurut Jung adalah totalitas dari semua peristiwa psikis, yang sadar maupun yang tidak sadar. Keduanya memiliki fungsi adaptasi, yaitu kesadaran itu berfungsi mengadakan penyesuaian diri terhadap dunia luar, sedang ketidaksadaran mengadakan adaptasi terhadap kehidupan batiniah sendiri. Ketidaksadaran itu menjadi tenaga primer bagi manusia.
Menurut Jung, ketidaksadaran itu merupakan induk kreatif yang kekal dari kesadaran. Karena itu, ketidaksadaran itu bukannya lawan dari kesadaran, akan tetapu merupakan faktor pelengkap bagi kesadaran agar kedua-duanya bisa berfungsi dengan sehat.
Jung membedakan empat fungsi fundamental dari kesadaran, yaitu dua fungsi yang rasional, ialah rasio/pikiran dan perasaan, serta dua fungsi irrasional, yaitu penginderaan dan intuisi.
Fungsi-fungsi rasional bekerja dengan ketentuan-ketentuan nilai, yaitu nilai benar-palsu. Sedangkan perasaan bekerja atas asas senang tidak senang. Fungsi-fungsi rasional tidak bekerja dengan penelitian dan pertimbangan, akan tetapi hanya berlandaskan pengamatan, yaitu penginderaan secara sadar melalui indera-indera. Sedang intuisi berfungsi secara inisiatif dan tidak sadar.
Keempat fungsi tersebut ada berlangsung pada setiap manusia, namun pada proses adaptasi terhadap lingkungan hanya ada satu fungsi yang dominan atau superior sifatnya. Dan fungsi “superior” itu menentukan tipe individu, yaitu tipe intuitif.
Di antara keempat fungsi pokok itu berlangsung pertimbangan yang kompensatoris jika fungsi superior berkembang terlalu kuat, terjadilah ketidakseimbangan yang makin membesar. Fungsi yang inferior berusaha melakukan kompensasi, lalu timbulah ketegangan-ketegangan batin yang hebat, yang bisa menimbulkan macam-macam tingkah laku yang tidak terkendali. Maka tujuan dari psikoterapi ialah menyadarkan keempat fungsi dan membuatnya jadi seimbang sehingga muncul seorang pribadi yang “bulat”.
Lebih lanjut Jung mengatakan pertumbuhan pribadi merupakan suatu dinamika dan proses evolusi yang terjadi sepanjang hidup. Individu secara terus menerus berkembang dan belajar keterampilan baru serta bergerak menuju penemuan diri. Proses menuju aktualisasi diri ini seringkali merupakan proses yang sulit dan menyakitkan. Hal itu secara terus menerus merupakan usaha individu untuk memahami pengalaman dan mengembangkan sikap-sikap yang sehat. Seseorang akan sering merasakan krisis. Resolusi pada krisis ini menolong seseorang untuk bergerak menuju persepsi yang tepat dan penuh pemahaman tentang dirinya. Di bawah kondisi ini seseorang mengalami individualisasi.
Tujuan dari penemuan diri adalah keutuhan psikis dan kematangan kepribadian. Keutuhan psikis ini adalah hasil dari bermacam-macam unsur psikis melalui proses penemuan diri dan proses transformasi batin. Krisis psikis ini sebenarnya merupakan tanda bahwa manusia sedang mencari arti atau makna keseluruhan religius yang dialaminya dalam kehidupan. Individualisasi adalah proses realisasi diri yang utuh di mana self atau diri dapat berintegrasi secara harmonis di dalam ego. Jung menekankan bahwa fungsi religius sangat penting untuk perkembangan psikis yang matang.
Perkembangan religius merupakan satu unsur hakiki yang integral dari proses individualisasi, dari proses menjadi diri yang utuh. Individu dalam mencapai proses individualisasi melalui beberapa fase. Fase pertama, membuat sadar fungsi-fungsi pokok serta sikap jiwa yang ada dalam ketidaksadaran. Dengan cara ini tegangan dalam batin refleks berkurang dan kemampuan untuk mengadakan orientasi serta penyesuaian diri meningkat. Fase kedua, membuat sadar imagi-imago. Dengan menyadari ini orang akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya sendiri yang diproyeksikan. Fase ketiga, menginsyafi bahwa manusia hidup dalam tegangan pasangan-pasangan yang berlawanan, bauk rohaniah maupun ajsmaniah, dan bahwa manusia harus tabah menghadapi hal ini serta dapat mengatasinya. Fase keempat, adanaya hubungan yang selaras antara kesadaran dan ketidaksadaran.


B. Contoh  Pendekatan Psikologi Sastra dalam Kajian Karya Sastra
Psikologi dalam karya sastra merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Psikologi sastra adalah suatu pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra banyak membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang memperlihatkan perilaku beragam. Oleh karena itu, dengan pendekatan psikologi sastra diharapkan dapat mengupas perilaku dan pengaruh peristiwa-peristiwa, contohnya usaha tokoh “aku” untuk menemukan jati diri dalam novel Mencoba Tidak Menyerah (MTM) karya Yudhistira.

      1. Pengaruh Revolusi Terhadap Kondisi  dan Perkembangan Jiwa Tokoh
Novel MTM, menceritakan sebuah keluarga yang menjadi korban suasana akibat meletusnya peristiwa traumatik Gerakan 30 Septembar Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Novel MTM mengambil tokoh “aku”. Tokoh “aku” adalah seorang anak dan saudara-saudara kandungnya dari satu keluarga kurang mampu yang gigih dan tidak mudah putus asa mencoba melepaskan diri dari himpitan nasib dan “kekejaman keadaan”. Selain itu tokoh “aku” juga terus-menerus diterpa oleh kenyataan-kenyataan pahit yang tidak bisa dihindari. Keluarga tokoh “aku” harus menerima akibat dari peristiwa pemberontakan PKI. Banyak orang menganggap bapaknya sebagai orang PKI. Anggapan itu membuat keluarga “aku” dikucilkan oleh masyarakat. Sebagai anak yang baru duduk di sekolah dasar tokoh aku begitu terguncang jiwanya. Kawan-kawan sebaya banyak yang menjauhi tokoh “aku”. Karena mereka menganggapnya sebagai anak PKI. Tokoh “aku” menjadi bingung, asing, dan merasa sendirian. Demikianlah kenyataan yang harus dihadapi tokoh “aku” secara terus-menerus sehingga membuat dirinya makin rendah diri dan mengalami tekanan batin secara psikologis.
Berdasarkan deskripsi cerita dalam novel MTM yang menampilkan konflik kejiwaan tokoh-tokohnya, khususnya tokoh “aku”. Tokoh “aku” digambarkan sebagai anak berumur sebelas tahun dan duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Tokoh “aku” anak keenam dari enam bersaudara. Tokoh “aku” dan keluarganya hidup di sebuah kota kabupaten  yang terdiri dari 20 desa. Kehidupan tokoh “aku” dan keluarganya dijalani dengan damai dan tentram. Namun peristiwa revolusi G 30 S PKI telah membawa perubahan dalam kehiodupan tokoh “aku”, yaitu tuduhan terhadap bapaknya sebagai orang PKI. Hal ini telah mempengaruhi perkembangan jiwanya.
Jiwa tokoh “aku” tergoncang mendengar dia disebut sebagai anak PKI. Pikiran tokoh “aku” dipenuhi ketakutan dan bayangan mengerikan tentang keluarganya. Tokoh “aku” adalah tokoh yang mempunyai kepribadian extrovertion, yaitu mempunyai kecenderungan untuk mengarahkan kepribadiannya lebih banyak ke luar daripada ke dalam dirinya sendiri. Sebagai orang yang extrovert tokoh “aku” ingin membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapinya pada orang lain. Dengan cara tersebut ia berharap dapat menyeimbangkan gejolak batin dalam dirinya. Tindakan tokoh “aku” untuk mengurangi tekanan jiwanya dapat kita lihat dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 26)

“Tidak, Ibu ! itu tidak boleh terjadi!” “aku” berteriak atau mungkin juga hanya berbisik lirih. Ibu mengusap-usap kepala “aku”, dan mengulangi pertanyaannya. Tapi “aku”  merasa ragu-ragu untuk mengatakan apa yang telah “aku” dengar itu secara jujur. “aku” takut. “aku” takut kalau ibu mendengarnya nanti mungkin bisa jatuh sakit. Ibu mengidap penyakit jantung, seperti yang sering diceritakan atau dikeluhkannya kalau kami selalu ribut dan berteriak-teriak. Oleh karena itu “aku” tidak segera menjawab pertanyaannya. “aku” hanya memandangnya saja dan “aku” tak tahan, sehingga “aku” menangis. Tapi tanpa kusadari, dalam tangisku  itu “aku” bertanya tersendat “aku” bukan komunis kan, Bu? “aku” bukan anak PKI kan?

Kecemasan terus menghinggapi tokoh “aku”, apalagi pada waktu malam hari karena “aku” tahu bahwa gerakan pembasmian orang-orang PKI biasanya dilakukan malam hari. Tokoh “aku” merasa menunggu sesuatu, sesuatu yang membuatnya selalu merasa dalam ketegangan. Ketegangan itu pada akhirnya mencapai puncaknya ketika suatu malam rombongan orang-orang memporak-porandakan rumah dan seluruh isinya. Bagi tokoh “aku” hal ini merupakan sebuah permulaan dari masa-masa yang gelap. Tokoh “aku” dan keluarganya harus pindah ke rumah yang dipinjamkan oleh kawan bapaknya dengan membawa kesedihan.
Di sekolah, tokoh “Aku” menjadi dijauhi teman-temannya karena mereka menganggap tokoh “aku” sebagai anak PKI. Sikap mereka itu membuat tokoh “aku” menjadi sedih. Keadaan yang tidak menyenangkan ini menyebabkan fungsi jiwa tokoh “aku” terganggu. Tokoh “aku” yang bertipe perasa menjadi asing dan bingung terhadap lingkungannya. Dalam kesendiriannya, keseimbangan tokoh “aku” terganggu oleh fungsi jiwanya yang tidak harmonis. Tokoh “aku” merasa frustasi menghadapi lingkungan yang makin tidak bersahabat dengan dirinya. Untuk mengatasi rasa frustasi itu, tokoh “aku” banyak menggunakan waktunya untuk membaca buku cerita yang digemari, yaitu buku karangan Karll Mark. Tokoh “aku” menyenangi tokoh Winnetou, kepala suku Apache, yang memiliki kecerdasan dan kehalusan jiwa. Bahkan tokoh “aku” ingin menjadi seperti dia dan merasa sebagai Winnetou. (Yudhistira, 1996: 27).
Sikap dan tindakan tokoh “aku” merupakan usaha untuk mengatasi frustasi dari dirinya dengan cara mengidentifikasi, yaitu dengan meniru dan menyamakan dirinya dengan tokoh Winnetou. Tokoh “aku” berharap dapat membuat kondisinya menjadi lebih baik, namn ternyata hal itu tidak dapat dilakukannya. Hal itu tampak seperti dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 58)

“Aku” ingin sekali memiliki kemampuan seperti itu. Dan “aku” iri betul pada Winnetou, karena ternyata “aku” tak pernah bisa melakukannya. Hatiku sangat mudah terpengaruh oleh kejadian-kejadian kecil sekalipun yang menimpa diriku. Dan “aku” tak pernah bisa menyembunyikan perasaanku. Jika ada sesuatu kesedihan, wajahku akan kelihatan murung atau menangis. Kalau “aku” tersinggung, “aku” lekas naik darah dan berkelahi. Dan kalau “aku” gembira, “aku” bisa tertawa-tawa sampai perutku sakit.” 


Hari demi hari dilalui “aku” dengan kesedihan. Kesedihan yang besar menimpanya ketika bapaknya ditahan. Dengan ditahannya bapak, maka tokoh “aku” harus ikut bekerja untuk melanjutkan hidup yang semakin berat. Setelah berganti-ganti pekerjaan dan hasilnya tidak memuaskan, maka tokoh “aku” membuka kembali bengkel warisan bapaknya. Pekerjaan di bengkel dijalani tokoh “aku” dengan kesabaran dan keuletan. Kesadaran untuk membantu kehidupan keluarganya telah menuntun tokoh “aku” untuk menekuni pekerjaan itu. Semanagt tokoh “aku” untuk bekerja semakin bertambah mendengar bapaknya masih hidup. Hal itu tercermin dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 118)
“Bahkan aku merasa bahwa bapak sudah betul-betul diantara kami semua. Karenanya kegembiraan yang ada dalam diriku besar sekali. Dan aku bekerja di bengkel dengan sepenuh hati, karena ingin menunjukkan kepada Bapak, betapa sekarang ini aku tidak membenci bengkel, pekerjaannya. Aku ingin menunjukkan kepada bapak bahwa dengan bekerja di bengkel, aku mendapatkan uang.”

Sikap tokoh “aku” yang ingin menunjukkan semangat bekerjanya  kepada bapak secara psikologis merupakan pengaruh dari rasa kehilangan bapaknya yang telah membuatnya trauma. Apa yang dialami tokoh “aku” merupakan pengalaman-pengalaman yang tarumatis, mengejutkan, dan meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang bersangkutan sehingga dapat  menyebabkan terbentuknya sikap tertentu.
Kondisi jiwa tokoh “aku” berangsur-angsur menunjukkan perkembangan yang baik. Apa lagi setelah bapaknya pulan dari tahanan. Tokoh “aku” merasa ada semangat hidup. Semangat hidup dan sikap optimis ada karena tokoh “aku” semakin mantap. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut (Yudhistira,1996: 130).

“Aku sekarang sudah bisa memperbaiki kerusakan sepeda yang macam apapun, Pak!” Begitu kataku gembira, sambil aku membongkar sebuah sepeda yang hendak diservis. Bapak tertawa senang “Itu bagus! Tapi belajarlah terus sampai kamu menguasainya betul, sehingga kalau kamu kelak tak punya usaha lain, maka usaha membuka bengkel seperti ini, sudah akan bisa menolong hidupmu!” Kata Bapak.


Demikian kondisi perkembangan jiwa tokoh “aku” sebagai tokoh utama, karena intensitas keberadaanya sangat menentukan perkembangan dalam alur cerita secara keseluruhan dan sekaligus sebagai tokoh protagonist karena secara keseluruhannya perkembangan jiwanya ke arah yang lebih baik. Hal itu terlihat dengan perubahan sikapnya menjadi lebih bertanggung jawab. Oleh karena itu, sikap yang ditunjukkan oleh tokoh “aku” tersebut merupakan perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteladani pembaca. 
       2. Usaha Tokoh “Aku” untuk Menemukan Jati Diri
Kondisi kejiwaan tokoh “aku” yang terguncang, disebabkan oleh masalah yang menimpa keluarganya, yaitu adanya fitnahan terhadap bapaknya sebagai orang PKI yang dilanjutkan dengan pengrusakan rumahnya. Dan yang lebih memukul jiwa “aku” adalah perpisahan dengan bapaknya yang harus menjalani penahanan karena fitnahan itu. Permasalahan-permasalahan itu menjadi beban psikologis yang terlalu berat bagi “aku”. Karena selain merasa sedih dan kehilangan atas kepergian bapaknya, lebih dari itu “aku” merasa sakit hati terhadap perlakuan lingkungan yang tidak bersahabat terhadapnya. “Aku” menjadi asing terhadap lingkungan sekitarnya dan yang lebuh buruk lagi “aku” merasa asing terhadap dirinya sendiri.
Kehilangan orang yang disayangi dan diasingkan lingkungan seringkali mendorong seseorang mengambil sikap dan tindakan yang merugikan diri sendiri. Demikian pula “aku”, dalam ketidaksadarannya “aku” melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 82)

“Aku sakit hati betul dibuatnya. Dan itulah rasa sakit yang tak pernah tersembuhkan lagi. Rasa sakit yang telah menggerogori jiwaku yang rawan. Semangatku yang padam. Gairah sekolah pun mulai menurun. Aku merasa sangat letih. Pikiran tak pernah jernih. Hatiku selalu gelisah, sehingga pelajaran-pelajaran sekolah sulit melekat pada otak. Dan aku menjadi tak betah duduk di kelas, atau bangun tiap pagi dan pergi sekolah, bertemu dengan kawan-kawan yang makin asing saja rasanya. Aku merasa bosan dan tak tahan lagi.”


Kepribadian “aku” yang cenderung menjadi rapuh dan tidak memiliki motivasi hidup, tidak lain merupakan dampak dari rasa keterasingannya yang membuat “aku” merasa dimusuhi kawan-kawannya. Kondisi psikis ini berakibat “aku” makin bosan menjalani kehidupan di dalam linkungannya. Namun akhirnya “aku” sadar akan tanggung jawabnya dengan berniat untuk tidak membuang kesempatan sekolahnya. Seperti tampak dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 83)
“Berpikir begitu, akhirnya kebencian dan kebosanan kepada sekolah itu aku buang jauh-jauh. Aku sadar. Sekarang sudah kelas enam. Tidak boleh sembarangan. Aku harus lebih rajin belajar supaya bisa lulus dan ibu senang.”

Adanya kesadaran pada diri ”aku” merupakan indikasi timbulnya perubahan sikap dan tindakan ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini ditunjukkan dengan kesadaran untuk mernjalani hidup yang lebih baik dan bertanggung jawab. Jika dihibungkan dengan pendapat Jung, maka kesadaran yang mulai muncul pada dari “aku” merupakan proses perkembangan kepribadian untuk mencapai pribadi yang sehat dan mantap sebagai hasil integrasi antar unsur-unsurnya yang tidak lain menuju kejatidirian. Sesuai penjelasan Jung pula, maka kesadaran “aku” tersebut merupakan fase pertama dari perjuangan batin dalam menemukan jati diri. Pada fase pertama ini fungsi pokok dan sikap jiwa “aku” yang ada dalam ketidaksadaran mengalami kesadaran. Dengan kesadarannya maka “aku” terdorong berusaha menyesuaikan diri dengan apa yang telah disadarinya.
 Usaha menyesuaikan diri untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan kesadaran merupakan perkembangan yang baik dan proses perjuangan batin dalam penemuan jati diri. Penyesuaian ini dilakukan “aku” dengan berusaha mnginstropeksi dirinya seperti terlihat dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 58)
“Kupikir, betapa jeleknya sikapku itu. Tidak seperti Winnetou yang begitu hebat segalanya. Tetapi mau apa lagi. Aku tidak bisa mengubah sifat-sifatku yang jelek itu dengan begitu saja. Aku merasa bahwa memang begitulah adanya aku ini semenjak dilahirkan. Jadi aku pasti tidak bersalah dalam hal ini. Entah siapa yang salah, aku tidak tahu”.


Sesuai dengan penjelasan Jung, maka kesadaran “aku” melakukan instropeksi diri dengan melihat dan menilai kekurangan- kekurangan pada dirinya, merupajkan fase kedua dari perjuangan batinnya dalam proses penemuan jati diri. Kesadaran “aku” untuk melakukan intropeksi diri ini secara psikologis telah mempengaruhi batin “aku” untuk menginsyafi bahwa kehidupan keluarganya semakin sulit. Oleh karena itu, “aku” sadar harus ikut bekerja untuk membantu ibunya mencukupu kebutuhan keluarganya. Sikap dan tindakan “aku” yang sadar akan kewajibannya tampak dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 87)

“Meskipin begitu, aku dan kakak-kakak lantas bersepakat bahwa bagaimanapun ibu harus kami bantu. Kami anak-anaknya tidak boleh tinggal daim, sebab kami berfikir uang hasil penjualan kue itu pasti belum mencukupi semua kebutuhan kami. Jadi kami pun harus kerja, mencari uang. Dan yang bekerja pertama kali ternyata aku. Itu pun atas usaha ibu. Ibu sambil berjualan selalu menanyakan kepada siapa saja, kepada pemilik took ataupun kepada orang-orang kaya, kalau-kalau ada pekerjaan yang bisa dilakukan untuk anak-anaknya”.

Sesuai dengan penjelasan Jung, maka sikap “aku” merupakan fase ketiga dari perjaungan abtinnya dalam proses penemuan jati diri. Hal ini menunjukkan “aku” semakin menyadari dan memiliki pandangan objektif bahwa kahidupan yang dialaminya bersama keluarga memerlukan dipenuhinya kebutuhan jasmani. Dan “aku” pun bertekad untuk ikut bekerja. Padahal selama ini “aku” tahunya minta uang dari orang tuanya dan bermain-main. Semangat bekerja ini didorong keinginan “aku” membantu ibunya dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Tekad dan semangat “aku” untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan bertanggung jawab menunjukkan bahwa kesadaran “aku” makin mantap dalam menghadapi cobaan dan meninggalkan kebiasaannya selama ini yang kurang bermanfaat. Sikap dan tindakan “aku” yang lebih tegar dan arif dalam menjalani kehidupan terlihat dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 114).
“Aku harus tulus hati. Aku mesti jadi orang dan ramah-tamah terhadap siapa pun. Harus menghadapi segala sesuatu dengan lapang dada dan tak usah menggerundel”.

Demikian pula untuk menemukan jati dirinya “aku” berusaha meyakinkan pada dirinya bahwa dia bisa hidup dan berhubungan dengan lingkungannya penuh percaya diri. Dan kenyataan itu terjadi dalam kehidupan yang dijalaninya, seperti tampak dalam kutipan berikut (Yudhistira, 1996: 133).
“Pergaulanku dengan kawan-kawan pun, terasa menjadi akrab dan menyenangkan kembali. Juga di sekolah, aku tidak lagi merasa risi dan bosan. Ya, kupikir itu karena sekarang aini aku sudah memiliki kebanggaan. Aku merasa bangga bahwa di antara sekian banyak orang-orang yang dihancurkan, aku sanggup bertahan dan tetap bisa maju. Dan karena itu aku punya seseorang Bapak yang luar biasa. Ulet dan sabar.

SIMPULAN 
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi sastra meliputi bidang penelitian yang luas, hanya ada sebagian yang memiliki relevansi dengan penelitian resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenan dengan pertanyaan apakah reaksi interpretatif dan reaksi evaluatif  pembaca terhadap teks sastra yang diselidiki.
Perubahan dan pencarian jati diri yang dilakukan oleh tokoh “aku” dapat disimpulkan dalam beberapa hasil perenungan yang diperolehnya, yaitu (1) “Aku” telah menyadari dan melakukan intropeksi diri atas sikap maupun tindakan-tindakannya selama ini, yang telah merugikan dirinya sendiri dan kurang bermanfaat dalam hidupnya; (2) “Aku” telah berusaha menemukan kembali jati dirinya dengan bersikap tegar, bersemangat, dan berani menghadapi cobaan yang menimpa keluarganya khususnya pada dirinya; dan (3) “Aku” pun telah menunjukkan kepercayaan dan kebanggaan dirinya menjalani hidup di lingkungannya
Kesungguhan dan keberanian “Aku” dalam pencarian jati diri membuktikan bahwa setiap usaha akan memberikan hasil nyata seperti yang diharapkannya. Keteguhan hati dan kamauan tokoh “aku” untuk terus hidup dapat diteladani dengan sikap yang optimis menatap masa depan untuk menghadapi segala rintangan hidup.

 DAFTAR PUSTAKA

Carl Gustav Jung. 1989. Psikologi Analitis. Jakarta: PT Gramedia
Kartini Kartono. 1990. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju
Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra.-Analisis Psikologis. Surakarta: UNS Press
Sumardjo, Jacob dan Saini K.M.1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Yudhistira A. N. M. Massardi. 1996. Mencoba Tidak Menyerah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar