Laman

Jumat, 10 April 2015

SEMANTIK DAN PRAGMATIK

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan manusia tidak akan terlepas dari aktivitas berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang saling bergantung dan membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, semakin menempatkan pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi di antara mereka.
Masalahnya sekarang, seringkali dan mungkin terjadi kesalahpahaman dalam proses komunikasi sehingga tidak jarang apa yang diinginkan seseorang melalui tindak tuturnya tidak sampai atau tidak dipahami oleh lawan bicaranya. Beberapa hal yang memungkinkan timbulnya kondisi di atas dapat disebabkan oleh sifat masyarakat pemakai bahasa yang heterogen. Selain itu, dapat juga disebabkan kurangnya pemahaman mereka, baik penutur atau penulis maupun petutur atau pembaca mengenai kaidah bahasa dalam komunikasi.
Upaya pemahaman penggunaan bahasa yang komunikatif, mudah dipahami, dan mencapai sasaran yang diinginkan menjadi satu hal yang mendesak untuk dapat menghindari kesalahan dalam tindak tutur. Di sinilah studi semantik dan pragmatik menjadi sangat penting dan dianggap perlu untuk dipelajari.

A. Semantik
Semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari arti atau makna tanda bahasa.  Sebuah  kata,  misalnya  buku,  terdiri  atas unsur lambang bunyi yaitu  [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku.
Makna merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Makna terdiri atas komponen makna, misalnya makna kata wanita terbentuk dari komponen makna MANUSIA, DEWASA, PEREMPUAN.
Dalam suatu bahasa, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relasi makna. Berikut ini diuraikan sebagai wujud relasi makna.
1. Homonimi
Homonimi adalah ‘relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomograf dengan kata tahu (paham) dan buku (kitab) yang berhomograf dengan buku (tempat pertemuan dua ruas), sedangkan kata masa (waktu) berhomograf dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).
  2. Polisemi
Polisemi berkaitan dengan kata atau frasa yang memiliki beberapa makna yang berhubungan. Hubungan antarmakna disebut polisemi.
(4) Saya membeli bunga ……. untuk hadiah ulang tahun pacar saya.
                                    mawar
                                    anggrek
                                    aster
                                    tulip
3. Sinonimi
Sinonimi adalah relasi makna antarkata (frasa atau kalimat) yang maknanya sama atau mirip. Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya kata-kata yang bersinomini, seperti kata-kata yang berasal dari bsh daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Sebagai contoh, kukul (bahasa Jawa) bersinomini dengan jerawat (bahasa Indonesia); diabetes bersinomini dengan penyakit kencing manis. Sinomini dapat muncul antarkata (frasa atau kalimat) yang berbeda ragam bahasanya, seperti bini (ragam bahasa percakapan tak resmi) dengan istri (ragam resmi), bokap (ragam bahasa remaja) dengan ayah (ragam resmi).
   4. Antonimi atau Oposisi
Antonimi atau oposisi adalah relasi antarkata yang bertentangan atau berkebalikan maknanya. Relasi antarkata ada juga maknanya berkebalikan, yang disebut kosok bali, seperti kata suami dengan  kata istri, yang dapat dijelaskan sebagai “jika Tina istri Tono, berarti Tono suami Tina”.
5. Hiponimi
Hiponimi adalah relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang. Anggrek, mawar, aster, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedang kata kucing, anjing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang.
  6. Meronimi
Blanke (1973) menyebut makna ini sebagai makna ekstralingual. Makna yang termasuk dalam kelompok makna ekstralingual ini adalah makna referensi, makna asosiatif, makna afektif, makna situatif, dan makna etimologis.

B. Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pragmatik mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.
Sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat tertentu terpenuhi, salah satunya adalah kesadaran akan bentuk sopan santun. Di dalam bahasa Indonesia kita jumpai Anda dan beliau untuk menghormati orang yang diajak bicara. Bentuk lain dari sopan santun adalah pengungkapan suatu  hal dengan cara tidak langsung
Pembicara di dalam percakapan harus berusaha agar apa yang dikatakannya relevan dengan situasi di dalam percakapan itu, jelas dan mudah dipahami oleh pendengarnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh pembicara agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam kajian pragmatik, dikenal sebagai prinsip kerja sama.
Grice (1975) mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah :
1. Maksim Kuantitas
Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus memberikan kontribusi secukupnya kepada mitra tuturnya.
(1) Anak gadis saya sekarang sudah punya pacar.
(2) Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar.
Maksim kuantitas juga dipenuhi oleh apa yang disebut pembatas (hedge) yang menunjukkan keterbatasan penutur dalam mengungkapkan informasi.
2. Maksim Kualitas
Berdasarkan maksim kualitas, peserta percakapan harus mengatakan hal yang sebenarnya. Ungkapan di awal kalimat seperti setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan sebagainya, menunjukkan pembatas yang memenuhi maksimk kualitas.
   3. Maksim Relevansi
Berdasarkan maksim relevansi, setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan.
(3) A : Kamu mau minum apa?
      B : Yang hangat-hangat saja.
(4) C : Kamu mau minum apa?
      D : Sudah saya cuci kemarin.
Ungkapan-ungkapan di awal kalimat seperti Ngomong-ngomong …, Sambil lalu …., atau By the way …
4. Maksim Cara
Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan.
(5)   A : Mau yang mana, komedi atau horor?
        B : Yang komedi saja. Gambarnya juga lebih bagus.
(6)  C : Mau yang mana, komedi atau horor?
 D : Sebetulnya yang drama bagus sekali. Apalagi pemainnya aku suka     semua. tapi  ceritanya  tidak  jelas  arahnya, Action  oke  juga,  tapi ceritanya aku tidak mengerti.
        B : Jadi kamu pilih yang mana?
Untuk memenuhi maksim cara, ada kalanya keluarga tidak selalu bermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula bagian yang membicarakan interaksi dan sopan santun), pembicara dapat menyatakan ungkapan seperti Bagaimana kalau …, Menurut saya … dan sebagainya.
Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan kesan yang janggal. Kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah yang biasanya dimanfaatkan di dalam humor.
Di dalam percakapan, sering apa yang kita ujarkan dapat “menguatkan” kenyataan yang menjadi konsekuensi apa yang kita ujarkan, misalnya berikut ini.
(7) Saya adalah temanmu.
(8) Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu.
Mengucapkan janji, menyatakan sesuatu, memperingatkan orang lain, atau mengancam seperti yang kita lihat berikut merupaka bagian dari pertuturan (speech act). Pertuturan adalah seluruh komponen bahasa dan nobahasa yang meliputi perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut peserta di dalam percakapan, bentuk penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu.
Berdasarkan  tujuannya, pertuturan dapat dikelompokkan seperti berikut ini :
1.      Asertif, yang melibatkan penutur kepada kebenaran atau kecocokan proposisi,   misalnya menyatakan, menyarankan dan  melaporkan.
2.      Direktif, yang tujuannya adalah tanggapan berupa tindakan dari mitra tutur, misalnya menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan mengingatkan;
3.      Komisif, yang melibatkan penutur dengan tindakan atau akibat selanjutnya, misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
4.      Ekspresif, yang memperlihatkan sikap penutur pada keadaan tertentu, misalnya berterima kasih, mengucapkan selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan menerima maaf; dan
5.      Deklaratif, yang menunjukkan perubahan setelah dianjurkan, misalnya membaptiskan, menceraikan (secara Islam), menikahkan, dan menyatakan.
Dalam pragmatik dikenal kata deiksis. Deiksis adalah cara merujuk pada suatu  hal yang  berkaitan erat dengan konteks penutur. Ada tiga jenis deiksis, yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu.
1. Deiksis Ruang
Unsur pembentuk deiksis ruang mengacu pada penggambaran tempat atau keadaan tertentu yang berorientasi pada sudt pandang penutur atau pembicara.
2. Deiksis Persona
        Pemahaman deiksis persona mengarah pada pemahaman kata ganti diri. Bahasa Indonesia dalam hal ini hanya mengenal pembagian kata ganti atas tiga, yaitu kata ganti persona pertama, kata ganti persona kedua, dan kata ganti persona ketiga.

Tunggal
Jamak
Orang pertama
Orang kedua
Orang ketiga
aku, saya
(eng)kau, kamu, Anda
ia, dia, beliau
Kami, kita
Kamu (semua), Anda (semua) kalian
mereka

3. Deiksis Waktu

Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relatif penurut atau penulis dan mitra tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda. Ada yang mengungkapkannya secara klasikal, yaitu dengan kata tertentu.
Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin dan besok, juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan.

PENUTUP

Semantik dan Pragmatik mempunyai kesamaan, yaitu cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan bahasa, namun, di antara kedua cabang ilmu itu memiliki perbedaan, yaitu semantik mempelajari makna satuan bahasa secara internal sedangkan pragmatik mempelajari  makna satuan bahasa secara eksternal.
Makna yang digeluti cabang ilmu bahasa semantik ialah makna yang bebas konteks(context-independent), sedangkan makna yang digeluti oleh cabang ilmu bahasa pragmatik ialah makna yang terikat konteks (context-dependent)

DAFTAR PUSTAKA
Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lander. 2007. Pesona Bahasa (Langkah awal memahami linguistik) . Jakarta: Gramadia Pustaka Utama.
Sam Mukhtar Chaniago, Mukti U.S dan Maidar Arsyad.1997. Pragmatik. Jakarta:    Universitas Terbuka.
Verhaar.J.W.M. 2006. Asas-asas Linguistik Umum.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar