Laman

Jumat, 18 September 2015

PENANAMAN SIKAP ANDAP ASOR MELALUI PENGAJARAN NOVEL IBU SINDER KARYA PANDIR KELANA

ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara penanaman sikap andap asor melalui novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana. Cara menanamkan sikap andap asor antara lain dengan menentukan unsur-unsur intrinsik novel, menentukan salah satu unsur budaya jawa yaitu sikap andap asor melalui pendekatan sosiologi sastra dan guru memberikan penjelasan kepada siswa mengenai pentingnya sikap andap asor dalam kehidupan sehari-hari.
Kata kunci: sikap andap asor, unsur intrinsik, sosiologi sastra
PENDAHULUAN
Nilai-nilai kearifan lokal dapat mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia. Potensi manusia akan dapat berkembang jika ada kesempatan yang mendorongnya, sehingga dapat menghilangkan hambatan-hambatan, seperti hambatan pribadi dan hambatan sosial. Nilai kearifan lokal harus ditanamkan sebagai penghadang berbagai hambatan yang muncul dalam kehidupan siswa kelak. Penanaman nilai kearifan lokal dapat dilakukan oleh siapa saja baik itu oleh orang tua, guru, dan masyarakat. Sekolah menjadi salah satu tempat siswa untuk mendapat nilai kearifan lokal dan guru berkewajiban memberikan nilai itu.
Nilai- nilai kearifan lokal perlu ditanamkan melalui pembelajaran berbasis budaya agar siswa terhindar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dirinya. Ada beberapa fenomena yang membahayakan yang dapat merusak kehidupan siswa. Hal itu harus diketahui, diperhatikan, dan disampaikan agar mereka tidak terjerumus ke dalamnya.
Guru sebagai pendidik memiliki peranan yang sangat penting dalam mengarahkan, mengajar, dan menanamkan nilai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal dapat ditanamkan kepada siswa melalui berbagai cara, salah satunya melalui pembelajaran novel. Dalam makalah ini penulis ingin menyampaikan cara menanamkan salah satu nilai kearifan lokal dalam budaya Jawa yaitu sikap andap asor melalui novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana.
Penilis memilih novel tersebut karena novel ini sarat dengan budaya Jawa yang kental. Novel ini juga merupakan novel yang bersifat kultural edukatif. Karya-karya Pandir Kelana sebagian besar dipengaruhi latar belakang sosial budaya Jawa pada masa kemerdekaan Indonesia. Dalam novel tersebut, selain terdapat aspek-aspek kebudayaan Jawa juga terdapat nilai-nilai edukatif yang dapat diambil untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ibu Sinder sebagai tokoh utama adalah seorang wanita dengan latar belakang didikan dan asuhan tradisional ningrat-Jawa yang dihadapkan pada tantangan zaman yang berubah-ubah dengan cepatnya. Sehingga wanita ini harus mengatasinya tanpa mengorbankan jati dirinya.
Novel Ibu Sinder ini ditulis dalam bahasa sederhana yang lancar sehingga permasalahan dan konflik yang ditampilkan dapat dengan mudah dipahami siswa. Novel ini mengajak pembaca u budayantuk ikut menghayati suasana kehidupan pada zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga memberi gambaran kehidupan masyarakat yang lekat dengan adat istiadat Jawa.
Melalui novel ini diharapkan siswa dapat lebih memahami, mengenal, dan menerapkan wrisan budaya Jawa yang adi luhung. Siswa juga diharapkan dapat lebih mengembangkan kebudayaan Jawa yang sekarang ini mulai luntur tergerus oleh peradaban modern yang berkiblat pada budaya Barat yang liberal.
RUMUSAN MASALAH
Bberdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana cara menanamkan sikap andap asor melalui novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana pada siswa?
TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana cara menanamkan sikap andap asor melalui novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana pada siswa.
MANFAAT
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara praktis maupun teoritis. Adapun manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.       Secara Teoritis
a.       Sebagai sarana pendekatan dalam karya sastra yaitu pendekatan sosiologi sastra
b.      Memperkaya khasanah pembelajaran berbasis budaya
2.       Secara Praktis
a.       Bagi siswa, makalah ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan minat baca siswa agar lebih memahami karya sastra dan dapat mengambil nilai positif terhadap karya sastra yang dikaji.
b.      Bagi guru, makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam pengajaran sastra berbasis budaya.
LANDASAN TEORI
A.      Hakikat Novel sebagai Karya Sastra
1.       Pengertian Novel
Novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru. Kata ini kemudian diadaptasi dalam bahasa Inggris menjadi istilah novel. Novel ini disebut baru, sebab jenis karya sastr ini muncul setelah genre cerita pendek atau roman. Tarigan mengatakan bahwa menurut Robert Lindell, karya sastra yang berupa novel pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella yang terbit tahun 1740. Tadinya Pamela merupakan bentuk catatan harian kemudian berkembang menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini (dalam Herman J. Waluyo, 2002:36)
Novel merupakan jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik lisan dan ragam yang menjadi dasar konvensi penuliasan (Abdul Rozak Zaidan, 2007:136)
Adapun menurut Zaidan Hendy (1993:224) bahwa novel adalah suatu prosa fiksi yang terdiri dari rangkaian peristiwa latar. Awalnya masyarakat hanya mengenal karya sastra yang berbentu roman, namun setelah zaman kemerdekaan mulai dikenal bentuk novel.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah cerita fiksi berbentuk prosa yang menampilkan sebagian peristiwa kehidupan dan di dalamnya terdapat unsur-unsur seperti alur, tema, amanat, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Peristiwa yang tersusun dan konflik kehidupan yang dialami para tokoh yang ditampilkan dalam dunia imajiner yang merupakan hasil kontemplasi dan proses kreatif pengarangnya.
2.       Jenis Novel
Jacob Sumardjo dan Saini (1986:29-30) berpendapat bahwa novel dapat diklasifikasikan  menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.
Adapun Zeiden Hendy (1993:225-226) membagi novel berdasarkan unsur fiksi dan corak isinya. Berdasarkan unsur fiksi novel dapat dibagi
 Menjadi tiga, yaiti novel plot, novel watak, dan novel tematis.
       Berdasarkan corak isinya, novel dibagi atas: novel popular dan
Novel actual.
3.       Struktur Novel
a.       Alur
Stanton mengemukakan bahwa plot (alur) adalh cerita yang berisi seramgkaian kejadian yang urut. Tiap kejadian menyatakan hubungan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkab atau menyebabkan peristiwa yang lain (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:164)
b.      Penokohan
Istilah ‘penokohan’ mempunyai pengertian lebih lama daripada ‘tokoh’ atau ‘perwatakan’ sebab penokohan mencakup berbagai unsur antara lain : siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana pelukisan dalam sebuah cerita sehingga pembaca paham dan mempunyai gambaran yang jelas. Unsur tokoh dalam suatu cerita mempunyai peranan penting sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sangat ingin disampaikan para pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 1995:167)
c.       Latar
d.      Peristiwa-peristiwa dalam cerita, tentu terjadi pada suatu waktu atau di dalam suatu rentang waktu tertentu dan tempat tertentu. Panuti Sudjiman (191:41) mengtatakan bahwa latar merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra. Latar dibagi menjadi dua macam yaitu latar fisik dan latar sosial. Latar fisik adalah penggambaran berdasarkan wujud fisiknya yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya, sedangkan latar sosial mencakup penggambaran masyarakat, kelompok siaial dan sikapnya, adat istiadat atau kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan hal-hal yang melatari peristiwa dalam cerita.
Herman J. Waluyo (2002:200) menambahkan “setting tidak hanya menampilkan lokasi, tempat, dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting”. Adapun pengertian latar yaitu tempat terjadinya peristiwa dalam cerita pada suatu waktu tertentu.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa latar adalah suatu keadaan ataupun suasana yang melatarbelakangi suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu cerita, termasuk di dalamnya waktu, ruang, dan tempat serta lingkungan sosial.
                     d.Tema
Tema merupakan struktur karya sastra yang mempunyai peran penting dalam suatu cerita. Biasanya pengarang merumuskan tema sebelum menulis cerita karya sastra karena gagasan yang sudah dibuat pengarang akan dikembangkan dan cerita yang dibuat tidak keluar dari tema. Tema dapat didefinisikan sebagai suatu gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 68)
e.      Amanat
Dalam sebuah karya sastra biasanya terdapat ajaran moral atau pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarang. Burhan Nurgiyantoro (1995:322) menjelaskan bahwa pembaca dapat mengambil hikmah atau pesan yang disampaikan dalam suatu karya sastra melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh. Moral dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai amanat, pesan, atau message. Unsur amanat itu sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Dalam sebuah karya sastra amanat sering disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit, jika ajaran moral yang disampaikan kepada pembaca sebagai amanat tersirat dalam tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita. Dikatakan secara eksplisit, jika pada bagian tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, ajaran, dan nasehat yang barkaitan dengan cerita sebagai ungkapan pesan kepada pembaca.
B.      Manusia Jawa dan Etika Kebijaksanaan
Etika kebijaksanaan yang dimaksud berkaitan dengan apa yang disebut “rasa” dan bukan dalam kaitannya dengan norma-norma moral, sebab menurut kesadaran Jawa bertindak sesuai norma-norma moral bukanlah perkara kehendak, melainkan pengertian. Dengan demikian etika Jawa memperlihatkan diri sebagai etika kebijaksanaan. Orang Jawa berpandangan bahwa apa yang menempatkan segalanya dan apa yang dilihatnya diukur menurut “kasar-alus” (kasar halus). Semakin “alus” (halus), semakin baik dan benar. Sebaliknya semakin “kasar” semakin jelek dan perlu dihindari.
Kehalusan seperti itu tampak dalam sopan santun berbahasa, dalam sikap pergaulan, dalam hidup religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek  kehidupan lainnya. Kehalusan berbahasa ini dimaksudkan dalam pemilihan kata yang cocok dan tepat untuk dipergunakan kepada siapa dia berbicara. Ada tiga tingkatan dalam menempatkn ketepatan pemakaian bahasa, yaitu bahasa Jawa ngoko, krama, dan kromo inggil. Selain itu, dalam berbahasa juga dikenalkan kehalusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati). Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak melakukan sikap ini.
Orang Jawa mengidentifikasi ketinggian seseorang dengan pangkatnya. Makin tinggi pangkatnya, makin ia dihormati atau dihargai dan kepadanyalah orang yang lebih rendah ssepe
seperti bawahan  atau abdi harus mengambil sikap tunduk, berlutut, dan semacam itu. Salah satu bentuk sopan santun atau basa basi pergaulan yang juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk bersikap ethok-ethok (pura-pura). Ethok-ethok (pura-pura) yang diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu merupakan cara seorang Jawa untuk memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya di dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Niali-nilai kehalusan semacam itu juga tampak dalam seni,baik seni lukis, batik, seni tari, suara gamelan, wayang, dan sebagainya.
                Geertz(1983) berpendapat bahwa orang Jawa pada umumnya menghindari keterusterangan yang berlebihan untuk menjaga kesopanan. Menurut ukuran etiket Jawa ethok-ethok (pura-pura) dipandang sebagai satu cara menyembunyikan maksud seseorang sebagai penghormatan lawan bicara. Setiap perasaan yang negatif hendaknya disembunyikan untuk menjaga perasaan orang lain agar tidak menyinggung. Selain itu orang dianjurkan untuk tersenyum dan menyenangkan orang lain karena sikap ini dapat menjaga keakraban dengan orang lain dan menunjukkan sikap ramah, meskipun ini tidak banyak gunanya. Perasaan positif yang kuat harus disembunyikan kecuali dalam situasi yang sangat  intim dan perasaan sebenarmya dapat disembunyikan dengan efektif di belakangnya agar tingkat keakraban tetap terjaga. Salah satu akibat dari semua ini adalah orang Jawa sendiri kadang-kadang tidak yakin benar, apakah orang lain itu ethok-ethok (pura-pura) atau bersungguh-sungguh.
C.      Sosiologi Sastra
Sosiologi merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari struktur sosial atau proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial (dalam Sorjono Soekanto, 2002: 20). Soerjono Soekanto sendiri mendefinisikan “sosiologi sebagai ilmu sosial yang kategoros, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris, serta bersifat umum.”
Adapun menurut Suwardi Endraswara (2006:77) “ sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu merefleksikan zamannya”.
Ritzer (dalam Faruk, 1994:2) mengatakan “sosiologi sastra sebagai suatu ilmu pengetahuan multiparadigma”. Maksudnya, ilmu sosiologi dapat dijumapi suatu persaingan beberapa paradigma dalam merebut usaha hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Ada tiga paradigma dasar dalam sosiologi yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan perilaku sosial.
Karya sastra lahir dari pengarang sebagai anggota masyarakat. Seorang pengarang dalam menghasilkan karya sastranya seringkali menggunakan kondisi sosial budaya masyarakat di mana pengarang itu berada. Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra.
Penelitian sosiologi sastra bertujuan mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik anatara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Sasaran sosiologi sastra dapat diperinci ke dalam beberapa bidang pokok yaitu:
a.       Konteks sosial pengarang. Konteks sosial pengarang membicarakan tentang hubungannya dengan status sosial sastrawan dalam masyarakat, masyarakat pembaca, serta keterlibatan pengarang dalam menghasilkan karya sastra;
b.      Sastra sebagai cermin masyarakat. Maksudnya, sastra dianggap sebagai gambaran keadaan masyarakat; dan
c.       Fungsi sosial sastra. Pada bidang ini terdapat hubungan antara nilai sastra dan nilai sosial (Rachmat Djoko Pradopo dkk., 2001:159).
Junus (dalam Sangidu, 2004:27) membagi dua corak dalam penelitian sosiologi yaitu:
a.       Pendekatan sociologi of literature (sosiologo sastra). Pendekatan ini mengutamakan faktor-faktor sosial yang menghasilkan karya sastra. Peneliti mencari faktor-faktor sosial (sosiologi) unruk memahami faktor-faktor yang terdapat dalam karya sastra. Jadi pendekatan ini melihat faktor-faktor sosial sebagai mayornya dan sastra sebagai minornya.
b.      Pendekatan leterary sociologi (sosiologo sastra). Pendekatan ini melihat dunia sastra atau karya sastra sebagai mayornya dan fenomena sebagai minornya. Jadi peneliti lebih dahulu menganalisis faktor-faktor sosial yang terdapat dalam karya sastra dan selanjutnya digunakan untuk memahami fenomena sosial yang ada di luar teks sastra.

Selanjutnya Sangidu (2004:28) mengemukakan “sosiologi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang teks sastra sebagai pencerminan dari realitas sosial”. Sehingga sosiologi sastra diharapkan mampu membuat studi kasus tuntas mengenai hubungan antara sastra dan realita sosial.
Adapun Sapardi Djoko Damono (dalam Rachmad Djoko Pradopo, 2002:259) mengemukakan bahwa terdapat dua kecenderungan pokok dalam penelitian sosiologi sastra, yaitu:
a.       Pendekatam yang berdasarkan anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin proses ekonomis belaka.
b.      Pendekatan mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan dengan metode analisis teks untuk mengetahui strukturnya dengan memahami lebih dalam gejala sosial yang di luar sastra.
Pendapat yang berbeda dikemukakan Yudiono K.S (1979:3) bahwa sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat. Beberapa pemikiran-pemikiran dasar yang dipersoalkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat, yaitu:
a.       Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmato, dipahami, dan dimanfaatkan banyak orang;
b.      Pengarang merupakan anggota suatu masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu;
c.       Bahasa yang digunakan dalam karya sastra yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat, jadi bahasa dalam karya sastra merupaka ciptaan sosial; dan
d.      Karya sastra merupakan hasil pemikiran-pemikiran pengarang dan pikiran-pikiran tersebut berasal dari pantulan hubungan seorang pengarang dengan orang lain atau masyarakat.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendekatan sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan terhadap karya sastra dengan bantuan sosiologi, sehingga segi-segi kemasyarakatan dalam karya sastralah yang dipertimbangkan. Pendekatan sastra ini secara garis besar menyangkut tiga hal penting yaitu pengarang, karya sastra, dan pembacanya.
PEMBAHASAN
A.      Cara Menanamkan Sikap Andap Asor melalui novel Ibu Sinder Karya Pandir Kelana
1.       Siswa menentukan unsur-unsur intrinsik dalam novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana
Meliputi:
a.       Alur
Alur yang digunakan dalam novel Ibu Sinder adalah campuran, yaitu perpaduan antara alur maju dan alur mundur. Perpaduan alur yang digunakan pengarabf tersebut mampu menampilkan keterjalinan cerita yang menarik, runtut, dan enak dibaca.
b.      Latar
Latar atau setting ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar social. Latar atau setting dalam novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana sebagai berikut:
-          Latar waktu, terjadi dari rentang zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, Proklamasi kemerdekaan, dan Revolusi kemerdekaan.
-          Latar tempat, di daerah Madugondo, Solo (Dalem Kusumojaten, dan Gandekan (Yogyakarta)
-          Latar sosial, adanya kekuasaan pemerintah kolonial di Indonesia yang menyebabkan rakyat harus patuh dan tunduk terhadap perintah majikan yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Ini dapat digambarkan dengan dikuasainya pabrik dan perkebunan Madugondo oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga pekerja yang sebagian besar rakyat Indonesia harus patuh terhadap pimpinan perkebunan yaitu Hendrik Van Hoogendrop. Setelah kekuasaan Hindia Belanda berakhir, Balentara Dai Nippon berhasil mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Rakyat semakin menderita karena Nippon lebih kejam dan sadis terhadap rakyat.
Latar sosial selanjutnya  yaitu mengenai status sosial masyarakat antara golongan ningrat atau golongan priyayi dan rakyat biasa. Golongan ningrat atau yang berkedudukan sebagai priyayi akan lebih dihirmati. Golongan ini diwakili oleh keluarga Keraton Kusumojati. Golongan priyayi yang berasal dari keratin tersebut mempunyai kehidupan yang lebih teratur dan tunduk pada tradisi kraton dan adat-adat jawa. Golongan wong cilik atau rakyat biasa mempunyai ruang gerak yang tidak terlalu terikat oleh norma tertentu. Golongan ini diwakili oleh masyarakat di sekitar Balokan.
c.       Penokohan
-          Ibu Sinder (Winarti)
Novel Ibu Sinder memiliki tokoh utama bernama Ibu Sinder, nama kecilnya Winarti alias Raden Ajeng Winarti. Suaminya bernama Prapto, seorang Sinder di perkebunan gula yang dikelola oleh Pemerintah Belanda sehingga Winarti dikenal dengan panggilan Ibu Sinder atau Ibu Prapto. Ibu Sinder adalah  seorang wanita keturunan ningrat Jawa, ia dibesarkan dalam lingkungan keratin yang bernama Dalem Kusumojaten. Secara fisiologis digambarkan sebagai seorang wanita yang langsing, cantik, padat berisi, berwajah tenang, berwibawa, rendah hati, suka menolong, dan patuh terhadap tata cara dan adat keratin. Secara sosiologis, Ibu Sinder adalah seorang wanita keturunan keratin bernama Dalem Kusumojaten. Ayahnya seorang pujangga bernama Bendoro Raden Mas Kusumojati dan Ibunya bernama Raden Ajeng Kusumaningrum. Ia juga memiliki bibi atau selir dari ayahnya yaitu Bibi Dumilah, Bibi Senit, dan Bibi Mari.
-          Suprapto
Dalam novel Ibu Sinder, Suprapto adalah suami Winarti. Ia bekerja sebagai seorang Sinder di perkebunan gula milik Pemerintah Belanda di Madugondo. Secara fisiologis, Suprapto digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tinggi, tampan, dan bertubuh kokoh serta berkumis tebal. Secara psikologis, Suprapto digambarkan sebagai seorang Sinder yang keras, disipiln, adil, dan baik terhadap pekerja-pekerjanya sehingga mereka menghormatinya. Sedangkan secara sosiologis, Suprapto adalah seorang yang masih keturunan bangsawan. Ia bekerja di perkebunan gula milik Pemerintah Belanda di Madigondo. Suprapto merupakan satu dari dua Sinder keturunan Jawa yang bekerja di perkebunan tersebut.
-          Hendrik Van Hoogendorp
Van Hoogendorp adalah orang Belanda yang menjabat sebagai Administrator perkebunan dan pabrik gula Madugondo. Secara fisiologis, Van Hoogendorp digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berkulit putih, berambut pirang, bertubuh kokoh, dan kekar. Secara psikologis Van Hoogendorp seorang yang tidak sombong, ia dapat menyesuaikan diri, ramah dan mudah bergaul meskipun baru mengenal orang tersebut. Secara sosiologis, Van Hoogendorp adalah orang Belanda yang masih keturunan bangsawan.
-          Fien Van Hoogendorp
Fien Van Hoogendorp adalah istri Hendrik Van Hoogendorp yang berdarah Jawa Belanda. Secara fisik, Fien Van Hoogendorp digambarkan sebagai seorang wanita yang cantik dan atraktif. Secara psikologis Fien merupakan wanita yang tidak setia kepada suami. Karena merasa tidak puas dan tidak diperhatikan, akhirnya ia menjalin kasih dengan bawahan suaminya yang bernama Suprapto. Secara sosiologis, Fien adalah wanita keturunan Jawa Belanda. Ia mempunyai hobi melukis sampai menjadi nyonya besar hobi tersebut masih tetap dipertahankan.
-          Ivonne Van Hoogendorp
Ivonne Van Hoogendorp adalah putrid dari pasangan suami istri Fiend an Van Hoogendorp. Secara fisik Ivonne digambarkan sebagai seorang wanita yang menarik, berwajah manis, menawan, berkulit putih kuning langsat, dan untuk ukuran orang Jawa ia termasuk tinggi tapi uluran orang Belanda ia tergolong pendek. Secara psikologis ia digambarkan sebagi gadis yang baik, ramah, dan tidak sombong. Secara sosiologis, ia adalag gadis keturunan Jawa Belanda. Ia adalah mahasiswa tingkat tinggi tingkat Semi-Arts Sekolah Tinggi Kedokteran di Batavia.
-          Suhono
Suhono adalah anak dari Ibu Sinder (Winarti) dan Suprapto. Secara fisik, Suhono merupakan pemuda yang bebadan tegap, kokoh, dan atletis. Secara psikologis, ia digambarkan sebagai pemuda yang baik, mudah bergaul, sopan santun, mudah menyesuaikan diri, dan sangat menghargai dan hormat pada orang-orang termasuk orang tuanya. Secara sosiologis, ia adalah lulusan insinyur dan secara dinas diterima bekerja di perkebunan gula Madugondo.
-          Herman
Herman adalah anak tunggal Winarsih, adik kandung Winarti. Secara fisik Herman digambarkan seperti Suhono, kakak keponakannya yang tampan dan berbadan kokoh. Sedangkan wajahnya mengikuti garis ibu secara psikologis. Herman merupakan pemuda yang memiliki jiwa patriotic. Ia banyak mengikuti gerakan-gerakan pemuda demi mengusir penjajah dari Indonesia maupun menumpas pemberontakan. Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai pemuda yang masih mengenyam pendidikan. Ia masih keturunan keratin, meskipun dalam kehidupan ibunya tidak patuh pada tradisi dan adat Jawa di Keraton.
-          Winarsih
Winarsih adalah adik ipar Ibu Sinder tetapi beda ibu. Ia adalah anak dari selir ayah Wwinarti yang bernama Bibi Dumilah. Secara fisik, ia digambarkan sebagai seorang wanita yang lincah dan berwajah cerdas, berbeda dengan Winarti yang berwajah tenang berwibawa. Secara psikologis, ia merupakan wanita yang keras dan bebas. Semasa kecilnya, ia anak yang sulit dikendalikan. Ia tidak mau taat pada tradisi adat dan aturan yang berlaku di keratin. Secara sosiologis, ia merupakan wanita yang masih berdarah biru.
d.      Tema
Tema yang terdapat pada novel Ibu Sinder adalah ketegaran seorang wanita Jawa dalam menghadapi segala persoalan dan perubahan zaman tanpa menghilangkan jati dirinya.
e.      Amanat
Amanat yang terdapat dalam novel Ibu Sinder adalah:
-          Sebaiknya dalam melakukan suatu pekerjaan, kita harus berusaha agar apa yang kita lakukan itu halal dan bermanfaat. Jangan sampai kita terjerumus dalam pekerjaan yang melanggar norma, hanya karena mudah mendapatkan hasil yang banyak.
-          Belajar merupakan cara agar kita memperoleh dan menambah pengetahuan. Tidak ada kata terlambat bagi seseorang untuk belajar, meskipun orang tersebut sudah tua. Selagi masih ada kesempatan, maka lakukanlah sesuatu yang bermanfaat.
-          Sebagai orang tua hendaknya selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anaknya. Meskipun anak tersebut sudah dewasa, orang tua juga masih perlu untuk memberikan nasehat dan perhatiannya karena kadang seorang anak bisa kehilangan kendali.
-          Kita harus sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang diberikan Tuhan karena cobaan merupakan bukti kasih sayangNya kepada kita.
-          Sebagai makhluk sosial maka hendaknya kita saling membantu terhadap sesama meskipun tidak seberapa, yang penting keikhlasan kita. Mungkin dengan bantuan yang tidak seberapa tersebut akan bermanfaat dan berguna bagi orang yang membutuhkan.
B.      Siswa mengkaji salah satu unsur budaya Jawa yang terdapat dalam novel Ibu Sinder yaitu sikap andap asor (sikap hormat) melalui pendekatan sosiologi sastra
     Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam caranya berbicara, memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Dalam hal ini, bahasa memainkan peranan yang penting. Penggunaan bahasa Jawa menandakan kesadaran akan kedudukan sosial dan menunjuukkan tata karma.
         Orang Jawa mempunyai pandangan bahwa mereka selalu mendapatkan segala sesuatu menurut ukuran  kasar-halus. Dengan demikian, apa yang disebut alus atau halus itu barkaitan dengan kehalusan dan keindahan batiniah. Kehalusan batiniah yang apabila seseorang mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa, dan mati raga. Kehalusan seperti itu tampak dalam sopan santun berbahasa, sikap pergaulan, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Kehalusan berbahasa tampak dalam pemakaian bahasa, yakni pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap siapa ia sedang berbicara.       
C. Guru menjelaskan pentingnya penerapan sikap andap asor dalam kehidupan sehari-hari
         Sikap andap asor merupakan salah satu unsur budaya Jawa yang adi luhung. Prinsip hormat dalam masyarakat Jawa mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu diukur menurut kasar dan halus. Kehalusan tersebut tampak dalam sopan santun berbahasa, sikap pergaulan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Purwadi dkk. (2005:254) mengatakan bahwa etika kesopanan orang Jawa terwujud dalam istilah unggah ungguh, tata krama, suba sita, etika, dan sopan santun. Semakin halus budi pekerti seseorang maka akan mendapat simpati lebih tinggi. Orang Jawa cenderung untuk berbahasa Jawa halus bila berhadapan dengan orang yang dihormati. Hal ini nampak saat Winarti (Ibu Sinder) menggunakan bahasa Jawa halus saat berbicara dengan kerabatnya yang berasal daru keraton. Pada masyarakat Jawa, hubungan sosialitasnya bersifat hierarkis. Semakin tinggi derajat atau kedudukan seseorang, semakin ia hormati. Orang yang lebih rendah mengambil sikap tunduk atau berlutut.
         Dalam kehidupan sehari-hari siswa diharapkan dapat menerapkan sikap andap asor  kepada semua orang terutama orang yang lebih tua. Namun, dalam menerapkan sikap andap asor, siswa tidak perlu terlalu berlebihan seperti adat keraton yang terdapat dalam novel Ibu Sinder yaitu melakukan laku dhodhok dan berlutut. Siswa hanya diminta sedikit membungkukkan badan  bila lewat di depan orang yang lebih tua. Dan menyapa dengan bahasa Jawa halus, misalnya ‘monggo , Pak’. Selain itu dalam berkomunikasi kepada orang yang lebih tua diharapkan siswa menggunakan bahasa Jawa halus, karena kesannya lebih sopan dan mengundang simpati dari lawan bicara.
Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam caranya berbicara, memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Dalam hal ini, bahasa memainkan peranan yang penting. Penggunaan bahasa Jawa menandakan kesadaran akan kedudukan sosial dan menunjuukkan tata karma.
            Orang Jawa mempunyai pandangan bahwa mereka selalu mendapatkan segala sesuatu menurut ukuran kasar-halus. Dengan demikian, apa yang disebut alus atau halus itu barkaitan dengan kehalusan dan keindahan batiniah. Kehalusan batiniah yang apabila seseorang mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa, dan mati raga. Kehalusan seperti itu tampak dalam sopan santun berbahasa, sikap pergaulan, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Kehalusan berbahasa tampak dalam pemakaian bahasa, yakni pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk dipergunakan terhadap siapa ia sedang berbicara. Ibu Sinder dulu hidup di dalam Dalem Kusumojaten. Ketika ada saudaranya yang berkunjung ke rumahnya, ia berbicara dengan menggunakan bahasa yang halus, mengingat saudaranya tersebut adalah kerabat keraton yang mempunyai derajat.

           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar