Makalah ini
bertujuan untuk mendeskripsikan cara penanaman sikap andap asor melalui novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana. Cara
menanamkan sikap andap asor antara lain dengan menentukan unsur-unsur intrinsik
novel, menentukan salah satu unsur budaya jawa yaitu sikap andap asor melalui
pendekatan sosiologi sastra dan guru memberikan penjelasan kepada siswa
mengenai pentingnya sikap andap asor dalam kehidupan sehari-hari.
Kata kunci: sikap andap asor, unsur intrinsik, sosiologi
sastra
PENDAHULUAN
Nilai-nilai
kearifan lokal dapat mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia. Potensi
manusia akan dapat berkembang jika ada kesempatan yang mendorongnya, sehingga
dapat menghilangkan hambatan-hambatan, seperti hambatan pribadi dan hambatan
sosial. Nilai kearifan lokal harus ditanamkan sebagai penghadang berbagai
hambatan yang muncul dalam kehidupan siswa kelak. Penanaman nilai kearifan
lokal dapat dilakukan oleh siapa saja baik itu oleh orang tua, guru, dan
masyarakat. Sekolah menjadi salah satu tempat siswa untuk mendapat nilai
kearifan lokal dan guru berkewajiban memberikan nilai itu.
Nilai- nilai
kearifan lokal perlu ditanamkan melalui pembelajaran berbasis budaya agar siswa
terhindar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dirinya. Ada
beberapa fenomena yang membahayakan yang dapat merusak kehidupan siswa. Hal itu
harus diketahui, diperhatikan, dan disampaikan agar mereka tidak terjerumus ke
dalamnya.
Guru sebagai
pendidik memiliki peranan yang sangat penting dalam mengarahkan, mengajar, dan
menanamkan nilai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal dapat ditanamkan kepada
siswa melalui berbagai cara, salah satunya melalui pembelajaran novel. Dalam
makalah ini penulis ingin menyampaikan cara menanamkan salah satu nilai
kearifan lokal dalam budaya Jawa yaitu sikap andap asor melalui novel Ibu
Sinder karya Pandir Kelana.
Penilis memilih
novel tersebut karena novel ini sarat dengan budaya Jawa yang kental. Novel ini
juga merupakan novel yang bersifat kultural edukatif. Karya-karya Pandir Kelana
sebagian besar dipengaruhi latar belakang sosial budaya Jawa pada masa
kemerdekaan Indonesia. Dalam novel tersebut, selain terdapat aspek-aspek
kebudayaan Jawa juga terdapat nilai-nilai edukatif yang dapat diambil untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ibu Sinder sebagai tokoh utama
adalah seorang wanita dengan latar belakang didikan dan asuhan tradisional
ningrat-Jawa yang dihadapkan pada tantangan zaman yang berubah-ubah dengan
cepatnya. Sehingga wanita ini harus mengatasinya tanpa mengorbankan jati
dirinya.
Novel Ibu Sinder
ini ditulis dalam bahasa sederhana yang lancar sehingga permasalahan dan
konflik yang ditampilkan dapat dengan mudah dipahami siswa. Novel ini mengajak
pembaca u budayantuk ikut menghayati suasana kehidupan pada zaman penjajahan
Belanda, pendudukan Jepang, dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga
memberi gambaran kehidupan masyarakat yang lekat dengan adat istiadat Jawa.
Melalui novel ini
diharapkan siswa dapat lebih memahami, mengenal, dan menerapkan wrisan budaya
Jawa yang adi luhung. Siswa juga diharapkan dapat lebih mengembangkan
kebudayaan Jawa yang sekarang ini mulai luntur tergerus oleh peradaban modern
yang berkiblat pada budaya Barat yang liberal.
RUMUSAN MASALAH
Bberdasarkan latar
belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana cara
menanamkan sikap andap asor melalui
novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana pada siswa?
TUJUAN
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana cara menanamkan
sikap andap asor melalui novel Ibu Sinder karya Pandir Kelana pada siswa.
MANFAAT
Makalah ini
diharapkan dapat bermanfaat, baik secara praktis maupun teoritis. Adapun
manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a.
Sebagai sarana pendekatan dalam
karya sastra yaitu pendekatan sosiologi sastra
b.
Memperkaya khasanah pembelajaran
berbasis budaya
2. Secara Praktis
a.
Bagi siswa, makalah ini diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan dan minat baca siswa agar lebih memahami karya
sastra dan dapat mengambil nilai positif terhadap karya sastra yang dikaji.
b.
Bagi guru, makalah ini diharapkan
dapat menjadi bahan acuan dalam pengajaran sastra berbasis budaya.
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Novel sebagai Karya Sastra
1.
Pengertian Novel
Novel berasal dari
bahasa latin novellas yang kemudian
diturunkan menjadi novies yang berarti baru. Kata ini kemudian diadaptasi dalam
bahasa Inggris menjadi istilah novel. Novel ini disebut baru, sebab jenis karya
sastr ini muncul setelah genre cerita pendek atau roman. Tarigan mengatakan bahwa
menurut Robert Lindell, karya sastra yang berupa novel pertama kali lahir di
Inggris dengan judul Pamella yang terbit tahun 1740. Tadinya Pamela merupakan
bentuk catatan harian kemudian berkembang menjadi bentuk prosa fiksi yang kita
kenal seperti saat ini (dalam Herman J. Waluyo, 2002:36)
Novel merupakan jenis
prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan
kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai
hidup, diolah dengan teknik lisan dan ragam yang menjadi dasar konvensi
penuliasan (Abdul Rozak Zaidan, 2007:136)
Adapun menurut Zaidan
Hendy (1993:224) bahwa novel adalah suatu prosa fiksi yang terdiri dari
rangkaian peristiwa latar. Awalnya masyarakat hanya mengenal karya sastra yang
berbentu roman, namun setelah zaman kemerdekaan mulai dikenal bentuk novel.
Dari beberapa pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah cerita fiksi berbentuk prosa yang
menampilkan sebagian peristiwa kehidupan dan di dalamnya terdapat unsur-unsur
seperti alur, tema, amanat, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Peristiwa yang tersusun dan konflik kehidupan yang dialami para tokoh yang
ditampilkan dalam dunia imajiner yang merupakan hasil kontemplasi dan proses
kreatif pengarangnya.
2.
Jenis Novel
Jacob Sumardjo dan
Saini (1986:29-30) berpendapat bahwa novel dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yakni novel
percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.
Adapun Zeiden Hendy
(1993:225-226) membagi novel berdasarkan unsur fiksi dan corak isinya.
Berdasarkan unsur fiksi novel dapat dibagi
Menjadi tiga, yaiti novel plot, novel watak,
dan novel tematis.
Berdasarkan
corak isinya, novel dibagi atas: novel popular dan
Novel actual.
3.
Struktur Novel
a.
Alur
Stanton mengemukakan bahwa plot (alur)
adalh cerita yang berisi seramgkaian kejadian yang urut. Tiap kejadian
menyatakan hubungan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkab atau
menyebabkan peristiwa yang lain (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:164)
b.
Penokohan
Istilah ‘penokohan’ mempunyai pengertian
lebih lama daripada ‘tokoh’ atau ‘perwatakan’ sebab penokohan mencakup berbagai
unsur antara lain : siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana
pelukisan dalam sebuah cerita sehingga pembaca paham dan mempunyai gambaran
yang jelas. Unsur tokoh dalam suatu cerita mempunyai peranan penting sebagai
pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sangat ingin
disampaikan para pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 1995:167)
c.
Latar
d.
Peristiwa-peristiwa dalam cerita,
tentu terjadi pada suatu waktu atau di dalam suatu rentang waktu tertentu dan
tempat tertentu. Panuti Sudjiman (191:41) mengtatakan bahwa latar merupakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
peristiwa dalam karya sastra. Latar dibagi menjadi dua macam yaitu latar fisik
dan latar sosial. Latar fisik adalah penggambaran berdasarkan wujud fisiknya
yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya, sedangkan latar sosial mencakup
penggambaran masyarakat, kelompok siaial dan sikapnya, adat istiadat atau
kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan hal-hal yang melatari peristiwa dalam
cerita.
Herman J. Waluyo (2002:200) menambahkan “setting
tidak hanya menampilkan lokasi, tempat, dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan
hidup dapat tampil sebagai setting”. Adapun pengertian latar yaitu tempat
terjadinya peristiwa dalam cerita pada suatu waktu tertentu.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut,
penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa latar adalah suatu keadaan ataupun
suasana yang melatarbelakangi suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu cerita,
termasuk di dalamnya waktu, ruang, dan tempat serta lingkungan sosial.
d.Tema
Tema
merupakan struktur karya sastra yang mempunyai peran penting dalam suatu
cerita. Biasanya pengarang merumuskan tema sebelum menulis cerita karya sastra
karena gagasan yang sudah dibuat pengarang akan dikembangkan dan cerita yang
dibuat tidak keluar dari tema. Tema dapat didefinisikan sebagai suatu gagasan
dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks
sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau
perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 68)
e.
Amanat
Dalam sebuah karya sastra biasanya
terdapat ajaran moral atau pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarang. Burhan
Nurgiyantoro (1995:322) menjelaskan bahwa pembaca dapat mengambil hikmah atau
pesan yang disampaikan dalam suatu karya sastra melalui cerita, sikap, dan
tingkah laku tokoh-tokoh. Moral dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai
amanat, pesan, atau message. Unsur amanat itu sebenarnya merupakan gagasan yang
mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Dalam sebuah karya sastra amanat sering
disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit, jika ajaran
moral yang disampaikan kepada pembaca sebagai amanat tersirat dalam tingkah
laku tokoh menjelang akhir cerita. Dikatakan secara eksplisit, jika pada bagian
tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, ajaran, dan nasehat yang
barkaitan dengan cerita sebagai ungkapan pesan kepada pembaca.
B. Manusia Jawa dan Etika Kebijaksanaan
Etika kebijaksanaan yang dimaksud berkaitan dengan apa yang disebut
“rasa” dan bukan dalam kaitannya dengan norma-norma moral, sebab menurut
kesadaran Jawa bertindak sesuai norma-norma moral bukanlah perkara kehendak,
melainkan pengertian. Dengan demikian etika Jawa memperlihatkan diri sebagai
etika kebijaksanaan. Orang Jawa berpandangan bahwa apa yang menempatkan
segalanya dan apa yang dilihatnya diukur menurut “kasar-alus” (kasar halus).
Semakin “alus” (halus), semakin baik dan benar. Sebaliknya semakin “kasar”
semakin jelek dan perlu dihindari.
Kehalusan seperti itu tampak dalam sopan santun berbahasa, dalam sikap
pergaulan, dalam hidup religius, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Kehalusan berbahasa ini
dimaksudkan dalam pemilihan kata yang cocok dan tepat untuk dipergunakan kepada
siapa dia berbicara. Ada tiga tingkatan dalam menempatkn ketepatan pemakaian
bahasa, yaitu bahasa Jawa ngoko, krama, dan kromo inggil. Selain itu, dalam
berbahasa juga dikenalkan kehalusan sikap hormat atau andap asor (rendah hati). Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak
melakukan sikap ini.
Orang Jawa mengidentifikasi ketinggian seseorang dengan pangkatnya.
Makin tinggi pangkatnya, makin ia dihormati atau dihargai dan kepadanyalah
orang yang lebih rendah ssepe
seperti
bawahan atau abdi harus mengambil sikap
tunduk, berlutut, dan semacam itu. Salah satu bentuk sopan santun atau basa
basi pergaulan yang juga dinilai positif adalah kemampuan orang Jawa untuk
bersikap ethok-ethok (pura-pura).
Ethok-ethok (pura-pura) yang diperlihatkan di luar lingkungan keluarganya itu
merupakan cara seorang Jawa untuk memperlihatkan perasaan-perasaan sebenarnya
di dalam pergaulan demi menjaga ketertiban agar tetap berlangsung. Niali-nilai
kehalusan semacam itu juga tampak dalam seni,baik seni lukis, batik, seni tari,
suara gamelan, wayang, dan sebagainya.
Geertz(1983) berpendapat bahwa
orang Jawa pada umumnya menghindari keterusterangan yang berlebihan untuk
menjaga kesopanan. Menurut ukuran etiket Jawa ethok-ethok (pura-pura) dipandang
sebagai satu cara menyembunyikan maksud seseorang sebagai penghormatan lawan
bicara. Setiap perasaan yang negatif hendaknya disembunyikan untuk menjaga
perasaan orang lain agar tidak menyinggung. Selain itu orang dianjurkan untuk
tersenyum dan menyenangkan orang lain karena sikap ini dapat menjaga keakraban
dengan orang lain dan menunjukkan sikap ramah, meskipun ini tidak banyak
gunanya. Perasaan positif yang kuat harus disembunyikan kecuali dalam situasi
yang sangat intim dan perasaan
sebenarmya dapat disembunyikan dengan efektif di belakangnya agar tingkat
keakraban tetap terjaga. Salah satu akibat dari semua ini adalah orang Jawa
sendiri kadang-kadang tidak yakin benar, apakah orang lain itu ethok-ethok (pura-pura) atau
bersungguh-sungguh.
C. Sosiologi Sastra
Sosiologi merupakan
ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah suatu disiplin ilmu
yang mempelajari struktur sosial atau proses-proses sosial, termasuk
perubahan-perubahan sosial (dalam Sorjono Soekanto, 2002: 20). Soerjono
Soekanto sendiri mendefinisikan “sosiologi sebagai ilmu sosial yang kategoros,
murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris,
serta bersifat umum.”
Adapun menurut Suwardi
Endraswara (2006:77) “ sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang
bersifat reflektif. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran
sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu
lahirnya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu
merefleksikan zamannya”.
Ritzer (dalam Faruk,
1994:2) mengatakan “sosiologi sastra sebagai suatu ilmu pengetahuan multiparadigma”.
Maksudnya, ilmu sosiologi dapat dijumapi suatu persaingan beberapa paradigma
dalam merebut usaha hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Ada
tiga paradigma dasar dalam sosiologi yaitu paradigma fakta-fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan perilaku sosial.
Karya sastra lahir
dari pengarang sebagai anggota masyarakat. Seorang pengarang dalam menghasilkan
karya sastranya seringkali menggunakan kondisi sosial budaya masyarakat di mana
pengarang itu berada. Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra.
Penelitian sosiologi
sastra bertujuan mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh
tentang hubungan timbal balik anatara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat.
Sasaran sosiologi sastra dapat diperinci ke dalam beberapa bidang pokok yaitu:
a.
Konteks sosial pengarang. Konteks
sosial pengarang membicarakan tentang hubungannya dengan status sosial
sastrawan dalam masyarakat, masyarakat pembaca, serta keterlibatan pengarang
dalam menghasilkan karya sastra;
b.
Sastra sebagai cermin masyarakat.
Maksudnya, sastra dianggap sebagai gambaran keadaan masyarakat; dan
c.
Fungsi sosial sastra. Pada bidang
ini terdapat hubungan antara nilai sastra dan nilai sosial (Rachmat Djoko
Pradopo dkk., 2001:159).
Junus (dalam
Sangidu, 2004:27) membagi dua corak dalam penelitian sosiologi yaitu:
a. Pendekatan sociologi of literature (sosiologo sastra). Pendekatan ini
mengutamakan faktor-faktor sosial yang menghasilkan karya sastra. Peneliti
mencari faktor-faktor sosial (sosiologi) unruk memahami faktor-faktor yang
terdapat dalam karya sastra. Jadi pendekatan ini melihat faktor-faktor sosial
sebagai mayornya dan sastra sebagai minornya.
b. Pendekatan leterary sociologi
(sosiologo sastra). Pendekatan ini melihat dunia sastra atau karya sastra
sebagai mayornya dan fenomena sebagai minornya. Jadi peneliti lebih dahulu
menganalisis faktor-faktor sosial yang terdapat dalam karya sastra dan
selanjutnya digunakan untuk memahami fenomena sosial yang ada di luar teks sastra.
Selanjutnya
Sangidu (2004:28) mengemukakan “sosiologi sastra merupakan suatu disiplin yang
memandang teks sastra sebagai pencerminan dari realitas sosial”. Sehingga
sosiologi sastra diharapkan mampu membuat studi kasus tuntas mengenai hubungan
antara sastra dan realita sosial.
Adapun
Sapardi Djoko Damono (dalam Rachmad Djoko Pradopo, 2002:259) mengemukakan bahwa
terdapat dua kecenderungan pokok dalam penelitian sosiologi sastra, yaitu:
a.
Pendekatam yang berdasarkan
anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin proses ekonomis belaka.
b.
Pendekatan mengutamakan teks
sastra sebagai bahan penelaahan dengan metode analisis teks untuk mengetahui
strukturnya dengan memahami lebih dalam gejala sosial yang di luar sastra.
Pendapat
yang berbeda dikemukakan Yudiono K.S (1979:3) bahwa sosiologi sastra merupakan
suatu pendekatan yang mempertimbangkan adanya hubungan antara sastra dan
masyarakat. Beberapa pemikiran-pemikiran dasar yang dipersoalkan adanya
hubungan antara sastra dan masyarakat, yaitu:
a.
Karya sastra diciptakan oleh
pengarang untuk dinikmato, dipahami, dan dimanfaatkan banyak orang;
b.
Pengarang merupakan anggota suatu
masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu;
c.
Bahasa yang digunakan dalam karya
sastra yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat, jadi bahasa
dalam karya sastra merupaka ciptaan sosial; dan
d.
Karya sastra merupakan hasil
pemikiran-pemikiran pengarang dan pikiran-pikiran tersebut berasal dari
pantulan hubungan seorang pengarang dengan orang lain atau masyarakat.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
pendekatan sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan terhadap karya sastra
dengan bantuan sosiologi, sehingga segi-segi kemasyarakatan dalam karya
sastralah yang dipertimbangkan. Pendekatan sastra ini secara garis besar
menyangkut tiga hal penting yaitu pengarang, karya sastra, dan pembacanya.
PEMBAHASAN
A.
Cara Menanamkan Sikap Andap Asor melalui novel Ibu Sinder
Karya Pandir Kelana
1. Siswa menentukan unsur-unsur intrinsik dalam novel Ibu Sinder karya
Pandir Kelana
Meliputi:
a. Alur
Alur yang digunakan
dalam novel Ibu Sinder adalah campuran, yaitu perpaduan antara alur maju dan
alur mundur. Perpaduan alur yang digunakan pengarabf tersebut mampu menampilkan
keterjalinan cerita yang menarik, runtut, dan enak dibaca.
b.
Latar
Latar atau setting ini
dikelompokkan menjadi tiga yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar social.
Latar atau setting dalam novel Ibu
Sinder karya Pandir Kelana sebagai berikut:
-
Latar
waktu, terjadi dari rentang zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang,
Proklamasi kemerdekaan, dan Revolusi kemerdekaan.
-
Latar
tempat, di daerah Madugondo, Solo (Dalem Kusumojaten, dan Gandekan (Yogyakarta)
-
Latar
sosial, adanya kekuasaan pemerintah kolonial di Indonesia yang menyebabkan
rakyat harus patuh dan tunduk terhadap perintah majikan yaitu Pemerintah Hindia
Belanda. Ini dapat digambarkan dengan dikuasainya pabrik dan perkebunan
Madugondo oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga pekerja yang sebagian besar
rakyat Indonesia harus patuh terhadap pimpinan perkebunan yaitu Hendrik Van
Hoogendrop. Setelah kekuasaan Hindia Belanda berakhir, Balentara Dai Nippon
berhasil mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Rakyat semakin menderita karena
Nippon lebih kejam dan sadis terhadap rakyat.
Latar sosial selanjutnya yaitu
mengenai status sosial masyarakat antara golongan ningrat atau golongan priyayi
dan rakyat biasa. Golongan ningrat atau yang berkedudukan sebagai priyayi akan
lebih dihirmati. Golongan ini diwakili oleh keluarga Keraton Kusumojati.
Golongan priyayi yang berasal dari keratin tersebut mempunyai kehidupan yang
lebih teratur dan tunduk pada tradisi kraton dan adat-adat jawa. Golongan wong cilik atau rakyat biasa mempunyai
ruang gerak yang tidak terlalu terikat oleh norma tertentu. Golongan ini diwakili
oleh masyarakat di sekitar Balokan.
c.
Penokohan
-
Ibu Sinder
(Winarti)
Novel Ibu Sinder memiliki tokoh utama bernama Ibu Sinder, nama kecilnya
Winarti alias Raden Ajeng Winarti. Suaminya bernama Prapto, seorang Sinder di
perkebunan gula yang dikelola oleh Pemerintah Belanda sehingga Winarti dikenal
dengan panggilan Ibu Sinder atau Ibu Prapto. Ibu Sinder adalah seorang wanita keturunan ningrat Jawa, ia
dibesarkan dalam lingkungan keratin yang bernama Dalem Kusumojaten. Secara
fisiologis digambarkan sebagai seorang wanita yang langsing, cantik, padat
berisi, berwajah tenang, berwibawa, rendah hati, suka menolong, dan patuh
terhadap tata cara dan adat keratin. Secara sosiologis, Ibu Sinder adalah
seorang wanita keturunan keratin bernama Dalem Kusumojaten. Ayahnya seorang
pujangga bernama Bendoro Raden Mas Kusumojati dan Ibunya bernama Raden Ajeng
Kusumaningrum. Ia juga memiliki bibi atau selir dari ayahnya yaitu Bibi
Dumilah, Bibi Senit, dan Bibi Mari.
-
Suprapto
Dalam novel Ibu Sinder, Suprapto adalah suami Winarti. Ia bekerja
sebagai seorang Sinder di perkebunan gula milik Pemerintah Belanda di
Madugondo. Secara fisiologis, Suprapto digambarkan sebagai seorang laki-laki
yang tinggi, tampan, dan bertubuh kokoh serta berkumis tebal. Secara
psikologis, Suprapto digambarkan sebagai seorang Sinder yang keras, disipiln,
adil, dan baik terhadap pekerja-pekerjanya sehingga mereka menghormatinya.
Sedangkan secara sosiologis, Suprapto adalah seorang yang masih keturunan
bangsawan. Ia bekerja di perkebunan gula milik Pemerintah Belanda di Madigondo.
Suprapto merupakan satu dari dua Sinder keturunan Jawa yang bekerja di
perkebunan tersebut.
-
Hendrik
Van Hoogendorp
Van Hoogendorp adalah orang Belanda yang menjabat sebagai Administrator
perkebunan dan pabrik gula Madugondo. Secara fisiologis, Van Hoogendorp
digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berkulit putih, berambut pirang,
bertubuh kokoh, dan kekar. Secara psikologis Van Hoogendorp seorang yang tidak
sombong, ia dapat menyesuaikan diri, ramah dan mudah bergaul meskipun baru
mengenal orang tersebut. Secara sosiologis, Van Hoogendorp adalah orang Belanda
yang masih keturunan bangsawan.
-
Fien Van
Hoogendorp
Fien Van Hoogendorp adalah istri Hendrik Van Hoogendorp yang berdarah
Jawa Belanda. Secara fisik, Fien Van Hoogendorp digambarkan sebagai seorang
wanita yang cantik dan atraktif. Secara psikologis Fien merupakan wanita yang
tidak setia kepada suami. Karena merasa tidak puas dan tidak diperhatikan,
akhirnya ia menjalin kasih dengan bawahan suaminya yang bernama Suprapto.
Secara sosiologis, Fien adalah wanita keturunan Jawa Belanda. Ia mempunyai hobi
melukis sampai menjadi nyonya besar hobi tersebut masih tetap dipertahankan.
-
Ivonne Van
Hoogendorp
Ivonne Van Hoogendorp adalah putrid dari pasangan suami istri Fiend an
Van Hoogendorp. Secara fisik Ivonne digambarkan sebagai seorang wanita yang
menarik, berwajah manis, menawan, berkulit putih kuning langsat, dan untuk
ukuran orang Jawa ia termasuk tinggi tapi uluran orang Belanda ia tergolong
pendek. Secara psikologis ia digambarkan sebagi gadis yang baik, ramah, dan
tidak sombong. Secara sosiologis, ia adalag gadis keturunan Jawa Belanda. Ia
adalah mahasiswa tingkat tinggi tingkat Semi-Arts Sekolah Tinggi Kedokteran di
Batavia.
-
Suhono
Suhono adalah anak dari Ibu Sinder (Winarti) dan Suprapto. Secara fisik,
Suhono merupakan pemuda yang bebadan tegap, kokoh, dan atletis. Secara
psikologis, ia digambarkan sebagai pemuda yang baik, mudah bergaul, sopan
santun, mudah menyesuaikan diri, dan sangat menghargai dan hormat pada orang-orang
termasuk orang tuanya. Secara sosiologis, ia adalah lulusan insinyur dan secara
dinas diterima bekerja di perkebunan gula Madugondo.
-
Herman
Herman adalah anak tunggal Winarsih, adik kandung Winarti. Secara fisik
Herman digambarkan seperti Suhono, kakak keponakannya yang tampan dan berbadan
kokoh. Sedangkan wajahnya mengikuti garis ibu secara psikologis. Herman
merupakan pemuda yang memiliki jiwa patriotic. Ia banyak mengikuti
gerakan-gerakan pemuda demi mengusir penjajah dari Indonesia maupun menumpas
pemberontakan. Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai pemuda yang masih
mengenyam pendidikan. Ia masih keturunan keratin, meskipun dalam kehidupan
ibunya tidak patuh pada tradisi dan adat Jawa di Keraton.
-
Winarsih
Winarsih adalah adik ipar Ibu Sinder tetapi beda ibu. Ia adalah anak
dari selir ayah Wwinarti yang bernama Bibi Dumilah. Secara fisik, ia
digambarkan sebagai seorang wanita yang lincah dan berwajah cerdas, berbeda
dengan Winarti yang berwajah tenang berwibawa. Secara psikologis, ia merupakan
wanita yang keras dan bebas. Semasa kecilnya, ia anak yang sulit dikendalikan.
Ia tidak mau taat pada tradisi adat dan aturan yang berlaku di keratin. Secara
sosiologis, ia merupakan wanita yang masih berdarah biru.
d.
Tema
Tema yang terdapat pada novel Ibu Sinder adalah ketegaran seorang wanita
Jawa dalam menghadapi segala persoalan dan perubahan zaman tanpa menghilangkan
jati dirinya.
e.
Amanat
Amanat yang terdapat dalam novel Ibu Sinder adalah:
-
Sebaiknya
dalam melakukan suatu pekerjaan, kita harus berusaha agar apa yang kita lakukan
itu halal dan bermanfaat. Jangan sampai kita terjerumus dalam pekerjaan yang
melanggar norma, hanya karena mudah mendapatkan hasil yang banyak.
-
Belajar
merupakan cara agar kita memperoleh dan menambah pengetahuan. Tidak ada kata
terlambat bagi seseorang untuk belajar, meskipun orang tersebut sudah tua.
Selagi masih ada kesempatan, maka lakukanlah sesuatu yang bermanfaat.
-
Sebagai
orang tua hendaknya selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada
anaknya. Meskipun anak tersebut sudah dewasa, orang tua juga masih perlu untuk
memberikan nasehat dan perhatiannya karena kadang seorang anak bisa kehilangan
kendali.
-
Kita harus
sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang diberikan Tuhan karena cobaan
merupakan bukti kasih sayangNya kepada kita.
-
Sebagai
makhluk sosial maka hendaknya kita saling membantu terhadap sesama meskipun
tidak seberapa, yang penting keikhlasan kita. Mungkin dengan bantuan yang tidak
seberapa tersebut akan bermanfaat dan berguna bagi orang yang membutuhkan.
B.
Siswa
mengkaji salah satu unsur budaya Jawa yang terdapat dalam novel Ibu Sinder
yaitu sikap andap asor (sikap hormat) melalui pendekatan sosiologi sastra
Prinsip hormat
mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam
caranya berbicara, memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai
derajat dan kedudukannya. Dalam hal ini, bahasa memainkan peranan yang penting.
Penggunaan bahasa Jawa menandakan kesadaran akan kedudukan sosial dan
menunjuukkan tata karma.
Orang
Jawa mempunyai pandangan bahwa mereka selalu mendapatkan segala sesuatu menurut
ukuran kasar-halus. Dengan demikian, apa yang
disebut alus atau halus itu barkaitan
dengan kehalusan dan keindahan batiniah. Kehalusan batiniah yang apabila seseorang
mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa, dan mati raga. Kehalusan
seperti itu tampak dalam sopan santun berbahasa, sikap pergaulan, dalam
pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Kehalusan berbahasa tampak dalam
pemakaian bahasa, yakni pemilihan kata-kata yang tepat dan cocok untuk
dipergunakan terhadap siapa ia sedang berbicara.
C. Guru
menjelaskan pentingnya penerapan sikap andap asor dalam kehidupan sehari-hari
Sikap andap asor merupakan salah satu
unsur budaya Jawa yang adi luhung. Prinsip hormat dalam masyarakat Jawa
mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu diukur menurut kasar dan halus.
Kehalusan tersebut tampak dalam sopan santun berbahasa, sikap pergaulan, dan
aspek-aspek kehidupan lainnya. Purwadi dkk. (2005:254) mengatakan bahwa etika
kesopanan orang Jawa terwujud dalam istilah unggah
ungguh, tata krama, suba sita,
etika, dan sopan santun. Semakin halus budi pekerti seseorang maka akan
mendapat simpati lebih tinggi. Orang Jawa cenderung untuk berbahasa Jawa halus
bila berhadapan dengan orang yang dihormati. Hal ini nampak saat Winarti (Ibu
Sinder) menggunakan bahasa Jawa halus saat berbicara dengan kerabatnya yang
berasal daru keraton. Pada masyarakat Jawa, hubungan sosialitasnya bersifat
hierarkis. Semakin tinggi derajat atau kedudukan seseorang, semakin ia hormati.
Orang yang lebih rendah mengambil sikap tunduk atau berlutut.
Dalam kehidupan sehari-hari siswa
diharapkan dapat menerapkan sikap andap asor
kepada semua orang terutama orang yang lebih tua. Namun, dalam
menerapkan sikap andap asor, siswa tidak perlu terlalu berlebihan seperti adat
keraton yang terdapat dalam novel Ibu
Sinder yaitu melakukan laku dhodhok dan berlutut. Siswa hanya diminta
sedikit membungkukkan badan bila lewat
di depan orang yang lebih tua. Dan menyapa dengan bahasa Jawa halus, misalnya
‘monggo , Pak’. Selain itu dalam berkomunikasi kepada orang yang lebih tua
diharapkan siswa menggunakan bahasa Jawa halus, karena kesannya lebih sopan dan
mengundang simpati dari lawan bicara.
Prinsip
hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta
dalam caranya berbicara, memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai
derajat dan kedudukannya. Dalam hal ini, bahasa memainkan peranan yang penting.
Penggunaan bahasa Jawa menandakan kesadaran akan kedudukan sosial dan
menunjuukkan tata karma.
Orang
Jawa mempunyai pandangan bahwa mereka selalu mendapatkan segala sesuatu menurut
ukuran kasar-halus. Dengan demikian,
apa yang disebut alus atau halus itu
barkaitan dengan kehalusan dan keindahan batiniah. Kehalusan batiniah yang
apabila seseorang mampu mengendalikan hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa, dan
mati raga. Kehalusan seperti itu tampak dalam sopan santun berbahasa, sikap
pergaulan, dalam pekerjaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Kehalusan
berbahasa tampak dalam pemakaian bahasa, yakni pemilihan kata-kata yang tepat
dan cocok untuk dipergunakan terhadap siapa ia sedang berbicara. Ibu Sinder
dulu hidup di dalam Dalem Kusumojaten. Ketika ada saudaranya yang berkunjung ke
rumahnya, ia berbicara dengan menggunakan bahasa yang halus, mengingat
saudaranya tersebut adalah kerabat keraton yang mempunyai derajat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar