BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Tinjauan
Pustaka
1.
Hakikat
Keterampilan Berbicara di Sekolah Dasar
a.
Pengertian
Keterampilan Berbicara
Berbicara
merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat produktif.
Menurut Henry Guntur Tarigan (1993: 15) berbicara adalah kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta
menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Sebagai perluasan dari batasan ini
dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat
didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan
sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan,
gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan.
Menurut
Mulgrave dalam Henry Guntur Tarigan (1993: 15) berpendapat bahwa berbicara
merupakan suatu instrument yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir
secara langsung apakah pembicara memahami atau tidak baik bahan pembicaraannya
maupun penyimaknya, apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri
atau tidak pada saat dia mengkomunikasikan gagasan-gagasannya dan apakah dia
waspada serta antusias atau tidak. Berbicara juga merupakan suatu alat untuk
mengkomunikasikan gagasn-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak. Hal ini berarti bahwa berbicara
merupakan sebuah kegiatan atau aktivitas kebahasaan yang berfungsi sebagai
sarana komunikasi secara lisan.
Nurgiyantoro
(2009: 276) menjelaskan bahwa berbicara adalah keterampilan berbahasa kedua
setelah menyimak. Seseorang dapat mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi setelah
mereka menyimak bunyi-bunyi bahasa tersebut. Untuk dapat berbicara dalam suatu
bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur dan kosa kata
yang bersangkutan. Disamping itu diperlukan juga penguasaan masalah dan atau
gagasan yang akan disampaikan serta kemampuan memahami bahasa lawan bicara. Nurhadi (1995: 342) menyatakan bahwa
berbicara sebagai salah satu aspek kemampuan berbahasa yang berfungsi untuk
menyampaikan informasi secara lisan.
Kaitannya
dengan keterampilan, Maidar. G. Arsjad dan Mukti. U.S (1991: 17) menyatakan
bahwa keterampilan berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengapresiasi, menyatakan,
menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan.
Keterampilan berbicara adalah
tingkah laku manusia yang paling distingtif dan berarti (Djago Tarigan, 1992:
146). Tingkah laku ini harus dipelajari, baru dapat dikuasai. Anak – anak usia
sekolah dasar harus belajar dari manusia di sekitarnya, anggota keluarga, teman
sepermainan, teman satu sekolah, dan guru di sekolah. Semua pihak turut
membantu anak belajar keterampilan berbicara.
Sejalan
dengan itu, St. Y. Slamet (2008: 35) menyatakan bahwa keterampilan berbicara
merupakan keterampilan yang mekanistis. Dari pendapat ini dapat dijelaskan
bahwa semakin banyak berlatih, semakin dikuasai dan terampil seseorang dalam
berbicara. Tidak ada orang yang langsung terampil berbicara tanpa melalui
proses berlatih. Di dalam berlatih berbicara, seseorang perlu dilatih di antaranya
dari segi pelafalan, pengucapan, intonasi, pemilihan kata (diksi), dan
penggunaan bahasa secara baik dan benar.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian keterampilan
berbicara adalah kemampuan seseorang
dalam mengungkapkan ide atau gagasan secara lisan bersifat produktif dan
mekanistis, yang hanya dapat dikuasai dengan berlatih berbicara dan merupakan
bagian tingkah laku hidup manusia yang sangat penting sebagai alat komunikasi
kepada orang lain. keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan
menyampaikan gagasan, informasi atau pesan kepada orang lain dengan menggunakan
media yang berupa simbol-simbol fonetis.
b.
Keterampilan
Berbicara di SD
Keterampilan berbicara di SD diberikan
pada kelas V semester 2 sesuai dengan Silabus. Untuk memperjelas materi keterampilan berbicara di kelas
V semester 2 SD berikut dikemukakan rincian berdasarkan silabus:
Tabel
2. 1 Silabus kelas V semester 2
Standar Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
|
6. Berbicara
Mengungkapkan
pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama
|
6.1 Mengomentari
persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan memperhatikan pilihan
kata dan santun berbahasa
6.2 Memerankan
tokoh drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat
|
c.
Tujuan
Pembelajaran Berbicara di SD
Tujuan
utama dari berbicara adalah komunikasi. Keraf (2001: 320) menyatakan bahwa:
tujuan
berbicara adalah sebagai berikut: 1) mendorong, maksudnya pcmbicara berusaha
memberi semangat, serta menunjukkan rasa hormat dan pengabdian; 2) meyakinkan,
maksudnya pembicara ingin meyakinkan sikap, mental. intelektual kepada para
pendengarnya; 3) bertindak, berbuat, menggerakkan maksudnya adalah pembicara
menghendaki adanya tindakan atau reaksi fisik dari pendengar; 4) menyenangkan
atau menghibur, maksudnya adalah pcmbicara berusaha untuk menyenangkan
pendengar.
Hal
serupa juga diungkapkan oleh Ochs dan Winker dalam Henry Guntur Tarigan (1993:
16), yang menyatakan bahwa:
tujuan
berbicara secara umum ada tiga yaitu: 1) memberitahukan, melaporkan; 2)
menjamu, menghibur; 3) membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan. Gabungan atau
campuran dari maksud-maksud itu pun mungkin saja terjadi . suatu pembicaraan
misalnya saja merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu begitu pula
mungkin sekaligus menghibur dan menyakinkan.
d.
Faktor-faktor
Penunjang Keefektifan Berbicara
Menurut
Maidar G. Arsyad dan Mukti U. S (1991: 17) faktor-faktor penunjang keefektifan
berbicara di bagi menjadi 2 yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.
Unsur
kebahasaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan oleh
pembicara pada saat melakukan komunikasi secara lisan atau pembicaraan.
Unsur-unsur tersebut meliputi: a) Ketepatan ucapan; b) penempatan tekanan,
nada, sendi, dan durasi yang sesuai; c) pilihan kata (diksi); d) ketepatan
sasaran pembicaraan.
Unsur
nonkebahasaan adalah hal-hal yang ada kaitanya dengan penampilan pembicara,
entah itu sikap, pandangan mata, gerak-gerik anggota badan, raut muka maupun
perilaku lain yang terlihat pada saat pembicara itu berbicara di depan umum.
Unsur-unsur tersebut meliputi: a) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku; b)
pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara; c) kesediaan menghargai pendapat
orang lain; d) gerak-gerik dan mimik yang tepat; e) kenyaringan suara juga
sangat menentukan; f) kelancaran; g) relevansi/penalaran; h) penguasaan topik.
e.
Evaluasi
dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Keberhasilan
sebuah pengajaran dapat diketahui hasilnya melalui evaluasi pembelajaran yang
berfungsi untuk mengukur kemampuan siswa setelah dilaksanakan proses
pembelajaran itu. Evaluasi dalam arti luas diungkapkan oleh Mehrens dan Lehmann
dalam Ngalim Purwanto (2006: 3) ialah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan
menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat pilihan-pilihan
keputusan. Dengan demikian, proses evaluasi ini direncanakan dengan sengaja
untuk memperoleh informasi atau data-data tertentu.
Mengevaluasi
keterampilan berbicara siswa bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Akhadiah
(1998: 27) mengungkapkan bahwa tes itu harus dapat mengevaluasi kemampuan
mengomunikasikan gagasan yang tentu saja mencakup kemampuan menggunakan kata,
kalimat, dan wacana, yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan
psikomotorik. Kemampuan berbicara merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang
cukup kompleks, karena tidak hanya mencakup intonasi saja, tetapi juga berbagai
unsur berbahasa lainnya.
Ahmad
Rofi'udin dan Darmiati Zuhdi (2001: 170) secara khusus mengemukakan beberapa
tes yang dapat digunakan untuk mengukur keterampilan berbicara. Tes-tes
tersebut diantaranya: (1) tes bercerita, dilakukan dengan cara meminta siswa
untuk mengungkapkan sesuatu (pengalaman atau topik tertentu). Bahan cerita akan
disesuaikan dengan perkembangan atau keadaan pembicara (siswa). Sasaran
utamanya berupa unsur liguistik (penggunaan bahasa dan cara bercerita), serta
hal yang diceritakan, ketepatan, kelancaran, dan kejelasannya; (2) tes diskusi,
dilakukan dengan cara disajikan suatu topik dan pembicara diminta untuk
mendiskusikannya. Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan pcmbicara
dalam menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat, serta menanggapi ide dan
pikiran yang disampaikan oleh peserta yang lain secara kritis. Aspek-aspek yang
dinilai dalam tes diskusi dapat berupa ketepatan penggunaan struktur bahasa,
ketepatan penggunaan kosakata, kefasihan dan kelancaran menyampaikan gagasan
dan mempertahankannya, kekritisan menanggapi pikiran yang disampaikan oleh
peserta diskusi lainnya.
Hal
senada juga dilakukan oleh Foreingn Service Institut (FSI) dalam Akhadiah (1998:
32) yang menilai keterampilan berbicara dengan menggunakan prosedur penilaian
yang mencakup: tekanan, tata bahasa, kosakata, kelancaran, dan pemahaman. Masing-masing
aspek tersebut akan memiliki bobot atau skala nilai.
Suwandi
(2008: 56) juga mengungkapkan bahwa penilaian berbicara dapat dilihat dari
aspek kelancaran berbahasa, ekspresi, intonasi, struktur kalimat, dan diksi.
Aspek-aspek tersebut memiliki skala nilai antara I (sangat buruk) sampai 5
(sangat baik).
Tabel
3. Format Penilaian Berbicara
No
|
Aspek
penilaian
|
|||||||
Nama
|
kelancaran
|
ekspresi
|
intonasi
|
Stuktur
kalimat
|
Diksi
|
Skor
|
Nilai
|
|
1
|
Ardiana
|
5
|
5
|
4
|
4
|
3
|
21
|
84
|
2
|
Dina
|
3
|
4
|
5
|
4
|
3
|
||
3
|
Ria
|
5
|
4
|
3
|
3
|
4
|
Nilai
Ardian
Seluruh
evaluasi di atas pada dasarnya digunakan untuk mengukur keberhasilan tindakan
yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Hal terpenting dalam
mengevaluasi kemampuan berbicara siswa yaitu melakukan tes secara lisan.
2. Hakikat
Problem Based Learning
a. Pengertian
Problem Based Learning
Salah satu bentuk pembelajaran yang
menerapkan student active approach atau student centered instruction
adalah Problem Based Learning (PBL). Pengajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara
berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan
dan konsep yang esensial dari materi pelajaran (Nurhadi, 2004: 109).
Dilihat
dari aspek psikologi belajar, problem
based learning (PBL) bersandarkan kepada psikologi kognitif yang berakar
dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya
pengalaman. Menurut Sanjaya (2007: 212) pembelajaran berbasis masalah dapat
diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada
proses penyelesaian masalah yang dihadapai secara alamiah. Menurut Dewey dalam
Triyanto (2007: 67) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara
stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan
lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah,
sedangkan otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga
masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari
pemecahannya dengan baik.
Menurut
Arends dalam Triyanto (2007: 68) pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu
pendekatan pembelajaran yang membantu siswa mengerjakan permasalahan yang
otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan
inkuiri, dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan
kemandirian dan percaya diri.
Masalah
yang diangkat dalam PBL adalah masalah yang bersifat teerbuka, artinya jawaban
dari masalah tersebut belum pasti. Setiap siswa. bahkan guru dapat
mengembangkan kemungkinan jawaban. Dengan demikian, PBM memberikan kesempatan
pada siswa untuk mengeksplorasi, mengumpulkan data, dan menganalisis data
secara lengkap untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Hakikat
masalah dalam PBL adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan
kondisi yang diharapkan atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang
diharapkan. Oleh karena itu, materi pelajaran atau topik tidak terbatas pada
materi pelajaran yang bersumber pada satu buku saja. Kriteria pemilihan bahan
pelajaran dalam PBL antara lain: 1) bahan pelajaran harus mengandung isu-isu
yang mengandung konflik (conflict issue) yang bisa bersumber dari
berita, rekaman video dan yang lainnya; 2) bahan yang dipilih adalah bahan yang
bersiat familiar dengan siswa, sehingga siswa dapat mengikutinya dengan
baik; 3) bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan
orang banyak; 4) bahan yang dipilih merupakan bahan yang mengandung tujuan atau
kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku;
5) bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa
perlu untuk mempelajarinya.
Pembelajaran
berdasarkan masalah atau problem based
learning merupakan pembelajaran
dengan pendekatan kontruktivisme, sebab guru hanya berperan sebagai penyaji
masalah, penanya, mengadakan dialog, pemberi fasilitas penelitian, menyiapkan
dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan
intelektual peserta didik. Prinsip utama pendekatan kontruktivis adalah
pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh
siswa (Abbas, 2004: 534).
b.
Ciri-ciri
dan Konsep Dasar Model Problem Based
Learning
Menurut Rusman (2010: 232)
karakteristik problem based learning
adalah sebagai berikut :
1) Permasalahan menjadi starting point
dalam belajar.
2) Permasalahan yang diangkat adalah
permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur.
3) Permasalahan membutuhkan perspektif
ganda (multiple perspective).
4)
Permasalahan,
menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap dan kompetensi yang
kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam
belajar.
5)
Belajar
pengarahan diri menjadi hal yang utama.
Pembelajaran berbasis masalah
didasarkan pada premis bahwa situasi bermasalah yang membingungkan atau tidak
jelas akan membangkitkan rasa ingin tahu siswa sehingga membuat mereka tertarik
untuk menyelidikinya. Pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai
rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian
masalah yang dihadapi secara ilmiah. Sanjaya (2007: 212) mengungkapkan ada 3
ciri utama pembelajaran berbasis masalah. Pertama pembelajaran berbasis masalah
merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi
pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa.
Pembelajaran berbasis masalah tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengar,
mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui PBL siswa
aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya
menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan
masalah. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses
berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis
dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui
tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah
didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Untuk mengimplementasikan PBL,
guru perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat
dipecahkan. Pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan:
1)
Manakala guru
menginginkan agar siswa tidak hanya sekadar dapat mengingat materi pelajaran,
akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh
2)
Apabila guru bermaksud
untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional siswa, yaitu kemampuan
menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi
baru mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan
kemampuan dalam membuat judgment secara objektif
3)
Manakala guru
menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah serta membuat tantangan
intrlektual siswa
4)
Jika guru ingin
mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajarnya
5)
Jika guru ingin siswa
memahami hubungan antara yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya
(hubungan antara teori dengan kenyataan).
Tujuan yang ingin dicapai oleh PBL
adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis
untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara
empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.
c.
Langkah-langkah
Problem Based Learning
Di tingkat paling fundamental, PBL
ditandai oleh siswa yang bekerja berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil
untuk menginvestigasi masalah kehidupan nyata yang membingungkan. PBL, seperti
pendekatan pengajaran interaktif lain yang berpusat pada siswa, membutuhkan
upaya perencanaan yang sama banyaknya atau bahkan lebih. Perencanaan gurulah
yang memfasilitasi perpindahan yang mulus dari satu fase problem based learning ke fase lainnya dan memfasilitasi pencapaian
tujuan intruksional yang diinginkan. Ada lima tahapan dalam pembelajaran model
PBL dan perilaku yang dibutuhkan oleh guru.
Menurut Sugiyanto (2009: 159) ada lima
tahapan dalam pembelajaran model PBL dan perilaku yang dibutuhkan oleh guru.
Untuk masing-masing tahapnya disajikan dalam tabel 1 dibawah ini:
Fase
|
Perilaku
Guru
|
Fase 1 : Memberikan orientasi
tentang permasalahannya kepada siswa
|
Guru
membahas tujuan pelajaran, mendeskripsikan dan memotivasi siswa untuk terlibat
dalam kegiatan mengatasi masalah
|
Fase 2 : Mengorganisasikan
siswa untuk meneliti
|
Guru
membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar
yang terkait dengan permasalahannya
|
Fase 3 : Membantu investigasi
mandiri dan kelompok
|
Guru
mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan
eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi
|
Fase 4 : Mengembangkan dan
mempresentasikan hasil
|
Guru
membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil-hasil yang tepat,
seperti laporan, rekaman, video, dan model-model dan membantu mereka untuk
menyampaikan kepada orang lain
|
Fase 5 : Menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi masalah
|
Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan
proses-proses yang mereka gunakan
|
d.
Hakikat
Diskusi
Diskusi
berasal dari bahasa Latin discutio atau
discusium yang artinya bertukar
pikiran. Diskusi pada dasarnya merupakan suatu bentuk pikiran yang teratur dan
terarah baik dalam kelompok kecil atau besar dengan tujuan untuk mendapatkan
suatu pengertian, kesepakatan dan keputusan bersama mengenai suatu masalah.
Keterampilan
berbicara di SD standar kompetensinya mencantumkan kompetensi dasar
keterampilan berbicara yaitu mengungkapkan pikiran perasaan, informasi secara
lisan dalam bentuk percakapan sederhana, bercerita,, bertelepon, berdiskusi,
bermain drama sederhana, berbalas pantun, berpidato, melaporkan secara lisan,
dan membaca puisi. Hal tersebut tercantum dalam KTSP. Diskusi bisa dijadikan
alternatif untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa karena selain melatih
intelektualitas juga bisa melatih sosial emosional.
Diskusi
merupakan suatu kegiatan yang biasa dilakukan dalam berbagai lapangan kehidupan
seperti dalam dunia politik, dunia bisnis, kepramukaan, organisasi karang
taruna, di dalam kelas dan lain-lain. Menurut Semi (1993: 10) diskusi adalah
suatu percakapan yang terarah yang berbentuk pertukaran pikiran antara dua
orang atau lebih secara lisan untuk mendapatkan kesepakatan atau kecocokan
dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi. Senada dengan pendapat di atas,
Henry Guntur Tarigan (1993: 36) mengungkapkan bahwa diskusi merupakan suatu
kegiatan kerjasama atau aktivitas koordinatif yang mengandung langkah-langkah
dasar tertentu yang harus dipatuhi oleh seluruh kelompok.
Salah
satu ciri yang paling menonjol pada kelompok diskusi adalah forum atau masa
tanya jawab. Forum terbuka memberi kesempatan kepada para pendengar untuk
memperoleh informasi yang lebih terperinci, mengemukakan bahan tambahan,
mengajukan pertanyaan dan berpartisipasi aktif dalam diskusi tersebut. Dalam
bukunya Semi (1993: 14) mengungkapkan beberapa manfaat dari diskusi antara
lain:
1)
dapat menumbuhkan sikap demokratis dan sekaligus menekankan kebiaasaan bekerja
dan berpikir secara bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan bersama; 2) untuk
meningkatkan kualitas moral, seperti mempererat persahabatan, membiasakan sikap
tenggang rasa, mampu menahan emosi, dan terbinanya sikap saling memberi manfaat
dan menerima; 3) meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan kemampuan menggunakan
bahasa, terutama bahasa Indonesia.
Gulo
mengungkapkan dalam bukunya (2002: 126) diskusi kelompok merupakan pilihan yang
tepat pada strategi belajar mengajar, tidak hanya mergantar pada tujuan
intruksional tetapi juga memberikan dampak iringan tertentu pada siswa. Di
dalam diskusi kelompok siswa belajar menghargai pendapat orang lain, bersikap
terbuka, mengaktualisasikan diri, percaya diri, dan sebagainya.
Kegiatan
diskusi terdiri dari berbagai bentuk atau variasi bentuk. Jenis atau bentuk
diskusi antara lain sebagai berikut: 1) diskusi kelompok yaitu suatu pertemuan
atau diskusi yang terdiri dari sejumlah peserta yang terbatas yang membahas
suatu topik tertentu yang diberikan atau ditugasi oleh kelompok besar; 2)
forum, yaitu suatu diskusi yang dilakukan oleh beberapa orang, tetapi diskusi
itu dihadiri oleh sejumlah pengunjung; 3) diskusi panel yaitu pertemuan yang
pesertanya diikat oleh suatu ketentuan yang ditetapkan sebelumnya; 4)
simposium, yaitu suatu perternuan yang dihadiri oleh para ahli yang bergerak
dalam bidang yang sama untuk membahas atau mendengarkan suatu uraian oleh
seorang ahli tentang suatu penemuan atau basil penelitian (Semi, 1993: 14).
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diskusi adalah kegiatan bertukar pikiran
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang terarah untuk mcmecahkan suatu persoalan
atau topik tertentu (mencari solusi).
e.
Kelebihan
dan Kelemahan Problem Based Learning
Setiap
metode pembelajaran mempunyai kelebihan dan kelemahmi kelemahan begitupula denganpembelajaran
berbasis masalah kelebihan dan kelemahan. Sanjaya (2007: 218) menjelaskan kelebihan
dan kelemahannya sebagai berikut:
1)
Kelebihan
PBL
a)
Pemecahan masalah (problem solving)
merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran
b)
Pemecahan masalah (problem solving)
dapat menantang kernampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan
pengetahuan baru bagi siswa
c)
Pemecahan masalah (problem solving)
dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung
jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan
d) Pemecahan
masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa
e)
Pemecahan masalah (prolem solving)
dapat mcngembangkan kemalnpuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru
f)
Pemecahan masalah (problem solving)
dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang
mereka miliki dalam dunia nyata
g)
Pemecahan masalah (problem solving)
dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun
belajar pada pendidikan formal
2)
Kelemahan
PBL
a)
Manakala siswa tidak memiliki minat
atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajarai sulit untuk
dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba
b)
Keberhasilan strategi pembelajaran
melalui problem solving membutuhknn cukup waktu untuk persiapan
c)
Tanpa pemahaman mengapa mereka (siswa)
berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak
akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
B.
Penelitian
yang Relevan
Dalam penelitian ini
peneliti mengacu pada penelitian yang relevan dilaksanakan saat ini yaitu :
1.
Abdullah Mufaridun dalam skripsinya berjudul “Peningkatan
Keterampilan Berbicara Melalui Bercerita Cerita Rakyat Kelas V SD Negeri Sragen
2 Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen Tahun Pelajaran 2008/2009” yang
dilaksanakan pada tahun 2009 Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang
dilakukan Abdullah Mufaridun dapat disimpulkan bahwa melalui bercerita cerita
rakyat dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Hal ini terbukti dengan
adanya peningkatan pada hasil ketuntasan belajar pada tiap siklusnya. Dalam
kondisi awal terdapat 11 siswa atau 46% dari jumlah keseluruhan siswa
memperoleh nilai di atas 60 (batas ketuntasan). Pada siklus I terdapat
peningkatan ketuntasan belajar menjadi 62% atau 15 siswa. Kemudian pada siklus
II terdapat peningkatan lagi menjadi 100% atau 24 siswa. Kesamaan pada
penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan penelitian Abdullah Mufaridun
terdapat pada keterampilan berbicara sedangkan perbedaannya terletak pada
penggunaan cerita rakyat.
2.
Sumiyatun dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Problem Based Learning untuk
Meningkatkan Hasil Belajar IPA tentang Energi pada Siswa Kelas IV SDN Treko I
Mungkid Magelang Tahun Pelajaran 2010/2011” yang dilaksanakan pada tahun 2011 dengan
kesimpulan bahwa Problem Based Learning yang
diterapkan dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar siswa Kelas
IV SDN Treko I Mungkid Magelang Tahun Pelajaran 2010/2011. Hal ini terbukti
dengan adanya peningkatan pada hasil ketuntasan belajar pada tiap siklusnya.
Dalam kondisi awal terdapat 14 siswa atau 54% dari jumlah keseluruhan siswa
memperoleh nilai di atas 60 (batas ketuntasan). Pada siklus I dan siklus II
sebanyak 22 siswa atau 85% siswa memperoleh nilai sesuai / di atas KKM.
Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terdapat pada
penggunaan problem based learning dalam
pembelajaran sedangkan perbedaannya terletak pada pembelajaran IPA tentang
energy.
C.
Kerangka
Berpikir
Kondisi
awal yang ditemui di lapangan kemampuan berbahasa lisan siswa masih rendah,
siswa masih terlihat kurang lancar ketika diminta berbicara di depan
teman-temannya, dan masih terlihat kurang percaya diri. Hal ini disebabkan
karena porsi perhatian terhadap pembelajaran berbicara tidak sebanyak
keterampilan berbahasa lainnya, metode yang diterapkan guru masih lemah, selain
itu adanya keterbatasan masalah yang bisa dijadikan bahan untuk berlatih
berbicara siswa misalnya untuk diskusi serta metode yang digunakan guru masih
lemah.
Melihat
kondisi yang demikian maka solusinya dengan menerapkan problem based learning melalui diskusi kelompok sehingga dapat
membuat siswa lebih mudah dalam meningkatkan kemampuan berbicara mereka.
Permasalahan yang sedang aktual dapat digunakan sebagai bahan diskusi siswa.
Selain itu, dengan diskusi akan membantu siswa untuk berlatih berbicara, karena
di dalam diskusi selain terjadi interaksi intelektual juga terjadi interaksi
sosial. Pembelajaran berbasis masalah dilakukan melalui beberapa tahapan,
tahapan-tahapan tersebut akan mempermudah alur berpikir dan kepahaman siswa.
Dengan
diterapkan problem based learning,
siswa mulai menunjukkan sikap yang berbeda, diantaranya mereka mulai berani
berbicara dihadapan teman-temannya, mulai lancar dan terlihat percaya diri.
Dengan metode yang diterapkan maka telah didapatkan hasil yang cukup memuaskan,
kualitas keterampilan berbicara siswa meningkat.
Kerangka
berpikir dapat digambarkan dalam suatu skema berikut ini:
D.
Hipotesis
Tindakan
Gambar 2.1
Kerangka berpikir
H. Hipotesis
Berdasarkan
kerangka berpikir di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
penerapan problem based learning
dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri 03 Wonorejo
Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar Tahun Ajaran 2014 / 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar