1.
Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement education, menekankan
kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program
pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya
didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi
konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana
tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep keterhubungan
(hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut, merupakan panduan
untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga gerakan anak bermakna
dalam keseluruhan konsep tersebut. Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan
kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar
pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al.,
1984). Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong
untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket
(misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan.
Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu
(integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara
gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani. Dalam
pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu dimanfaatkan
dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan
geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut dimasukkan beberapa
orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan, bahkan dansa
sekalipun.
2.
Model
Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)
Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan
Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong
Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan
jasmani dari perspektif health-related fitness education (Steinhard,
1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang
sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam
kehidupan sehari-harinya. Untuk itu, program penjaskes di sekolah harus
membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu
para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap
terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu
melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik meyenangkan, (2) dapat
dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan, (4) dapat memelihara
bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan
aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran
ini.
3. Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett
dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada
nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada
model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini
dalam bukunya yang berjudul Quality PE Through Positive Sport Experiences:
Sport Education. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum
dalam pembelajaran penjaskes. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini
terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjaskes
yang banyak digunakan oleh para guru penjaskes dan siswapun senang
melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam
konteks penjaskes sering tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa
karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan.
Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga
yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya. Atau, jika pun
melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak sesuai dengan
tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai keolahragaannya.
Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan pengalaman yang lengkap
pada anak dalam berolahraga. Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian
tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan (developmentally
appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk sebagian besar
siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara
aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan
mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering
dilakukan oleh para guru penjaskes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar