Laman

Kamis, 23 Juni 2016

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN PENJASKES




         Model pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani (penjaskes)  lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya. Dalam hal ini, model pembelajaran lebih sering dilihat sebagai pilihan guru untuk melihat manfaat dari pendidikan jasmani terhadap siswa, atau lebih sering disebut sebagai orientasi. Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas untuk dipahami perbedaan antara satu dengan lainnya.
1.          Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut, merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut. Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al., 1984).  Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan, bahkan dansa sekalipun.
2.         Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)
Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (Steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk itu, program penjaskes di sekolah harus membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan, (4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran ini.
3.       Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dalam pembelajaran penjaskes. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjaskes yang banyak digunakan oleh para guru penjaskes dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjaskes sering tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan.
Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya. Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan (developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjaskes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar